Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso menegaskan jangan ragu untuk menetapkan Irjen Ferdy Sambo sebagai tersangka apabila bukti sudah cukup kuat.
Adanya tersangka lain terungkap dalam penetapan tersangka kasus pembunuhan Brigadir J di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo, karena Bharada E dijerat pasal 338 jo Pasal 55 dan 56 KUHP.
Penjeratan Pasal 55 dan 56 KUHP kepada Bharada e ini lah yang nantinya akan menguak siapa yang melakukan, turut serta, menyuruh melakukan pembunuhan Brigadir J di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo.
Serta siapa yang sengaja memberi bantuan dan memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan pembunuhan tersebut.
Sugeng Teguh Santoso, Ketua Indonesia Police Watch (IPW) mengatakan ketika penyidik menggunakan pasal 55 dan 56 itu berarti harus sudah siap bisa membuktikan adanya tersangka lain, yang bersama-sama maupun yang membantu.
“Saya membaca penyidik memiliki alat bukti itu. Apakah keterangan saksi, petunjuk, keterangan ahli maupun hasil pmeriksaan digital forensik,” ujar Sugeng.
Menurut Sugeng, dari awal publik tidak akan percaya bahwa pelakunya hanya Bharada E, karena itu TImsus harus membuktikan itu.
Jika dikaitkan proses yang terjadi sengaja ditutup-tutupi, ada kesan rekayasa, penghilangan barang bukti dan tidak ada olah TKP di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo, menurut Sugeng, itu untuk melindungi seseorang.
“Pangkat yang ada di rumah itu, bharada, brigpol. Tidak perlu dilindungi, tangkap saja.
Ada satu pihak yang high profil yang harus dilindungi,” ujar Sugeng.
Karena itu, lanjut Sugeng, pembuktian harus diarahkan sedemikian rupa.
“Kalau telah bukti, Timsus atau Bareskrim tidak perlu ragu untuk menetapkan irjen Ferdy Sambo sebagai tersangka, kalau cukup bukti,” tegas Sugeng.
Di bagian lain, kriminolog Universitas Indonesia (UI) Adrianus Meliala menduga di kasus ini para penyidik yang sebelumnya mengusut kasus ini bukan tidak profesional, namun sengaja tidak mau profesional.
Hal ini tampak saat kali pertama pembunuhan ini terjadi.
Umumnya kasus pembunuhan, seharusnya ada tiga unit kepolisian yang bergerak, yakni Laboratorium Forensik (Labfor) untuk meneliti sidik jari, balistik atau ketika ada benda patah.
Lalu Inafis untuk menyelidiki terkait wajah. Serta Kedokteran Kesehatan (Dokkes) ketika ada tubuh rusak, luka, DNA dan sebagainya.
Namun, di kasus ini, hal Itu tidak ada. Padahal, Polda Metro Jaya sendiri sudah berkomitmen ketika ada panggilan akan datang dalam waktu 30 menit. “Gak usah nunggu 3 hari. Apalagi ini di Jakarta, rumah jenderal pula,” katanya.
Menurut Adrianus, para penyidik yang notabene adalah orang terbaik di bidangnya ini sengaja tidak mau profesional. “Saya menduga ada perintah yang membuat mereka terpaksa untuk itu.
Padahal sebetulkan ada kode etik polri, dimana ketika ada perintah salah seharusnya tidak diindahkan,” katanya.
Saat ditanya apakah bawahannya berani membantah perintah atasan, menurut Adrianus hal ini bisa dilihat dari pendekatan relasi kuasa. “Bagi atasan, tidak usah perintah, cukup mendehem aja sudah ada artinya. Ini jadi penting, karena tidak ada surat perintah atau tunjuk-tunjuk. cukup mendehem, para bawahannya membuat skenario yang menyelamatkan atasan,” tegasnya.