Pembangkangan DPR terhadap 2 putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan cara merevisi Undang-undang Pilkada (UU Pilkada) dinilai bakal percuma.
Pembangkangan DPR ini kini mendapat sorotan publik, bahkan pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti menilai bahwa hal ini merupakan akal-akalan DPR untuk meloloskan putra presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Pilkada 2024 mendatang.
Menurut, Bivitri Susanti, pembangkangan DPR ini akan sia-sia, pasalnya, MK pula yang nantinya berwenang mengadili sengketa pilkada, sehingga calon kepala daerah yang diproses menggunakan undang-undang yang inkonstitusional berpotensi didiskualifikasi.
“Konsekuensi politik yang penting, ingat semua sengketa hasil pilkada akan diputus oleh MK dan MK bisa memutuskan pemungutan suara ulang (PSU) buat pemilu yang melanggar Putusan MK,” tegas Bivitri Susanti, Rabu (21/8/2024).
Sejauh rapat kerja Badan Legislasi untuk revisi UU Pilkada hingga siang ini, DPR sudah mendesain pembangkangan atas dua putusan MK kemarin.
Pertama, mengembalikan ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 20 persen kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara sah pileg sebelumnya, suatu beleid yang dengan tegas sudah diputus MK bertentangan dengan UUD 1945.
Kedua, mengembalikan batas usia minimal calon kepala daerah terhitung sejak pelantikan, meskipun MK kemarin menegaskan bahwa titik hitung harus diambil pada penetapan pasangan calon oleh KPU.
MK sendiri sudah berulang kali menegaskan bahwa putusan Mahkamah berlaku final dan mengikat.
Pada putusan terkait usia calon kepala daerah, majelis hakim konstitusi sudah mewanti-wanti konsekuensi untuk calon kepala daerah yang diproses dengan pembangkangan semacam itu.
“Sesuai dengan prinsip erga omnes, pertimbangan hukum dan pemaknaan Mahkamah terhadap norma Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 (tentang Pilkada) mengikat semua penyelenggara, kontestan pemilihan, dan semua warga negara,” kata Wakil Ketua MK Saldi Isra membacakan pertimbangan putusan itu, Selasa (20/8/2024).
“Dengan demikian, jika penyelenggara tidak mengikuti pertimbangan dalam putusan Mahkamah a quo, sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang berwenang menyelesaikan sengketa hasil pemilihan, calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang tidak memenuhi syarat dan kondisi dimaksud, berpotensi untuk dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah,” ujarnya.
Sejak 2018, MK juga sudah menegaskan bahwa putusan MK terkait konstitusionalitas sebuah undang-undang harus dipatuhi. Apabila tidak, maka tindakan tersebut akan bersifat ilegal.
Mahkamah ketika itu menegaskan bahwa sekali MK telah mendeklarasikan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka tindakan apa pun yang mengabaikan putusan itu bakal bersifat ilegal.
Pengabaian itu dapat berarti penggunaan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian undang-undang seolah-olah sebagai undang-undang yang sah, padahal oleh Mahkamah telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
“Dengan demikian, dalam hal suatu lembaga atau masyarakat tidak menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi, hal demikian merupakan bentuk nyata dari pembangkangan terhadap konstitusi,” tulis Putusan Nomor 98/PUU-XVI/2018 itu.