Pengembang klaster milik Sinarmas Group, PT Putra Alvita Pratama menggugat warga RW 10 Klaster Water Garden Grand Wisata, Kecamatan Tambun Selatan Kabupaten Bekasi.
Warga klaster milik Sinarmas Group itu menghadapi gugatan dari pihak pengembang lantaran membangun musala. Gugatan yang awalnya dimediasi itu gagal sehingga masuk dalam tahapan persidangan di Pengadilan Negeri Cikarang.
Warga digugat oleh PT Putra Alvita Pratama yang merupakan pengembang klaster milik Sinarmas Group. Pada nomor perkara 326/Pdt.G/2020/PN Ckr, warga digugat dalam perkara wanprestasi.
Rahman Kholid selaku tergugat menuturkan, bahwa warga digugat terkait dengan pembangunan musala Al Muhajirin. Musala itu dibangun di tengah klaster dengan dana hasil patungan warga.
Musala tersebut didirikan di atas tanah seluas 226 meter persegi yang dibeli warga dari pengembang pada 2015 seharga Rp 1,6 miliar. Setelah mencicil selama beberapa tahun, tanah itu akhirnya lunas dan mulai dibangun musala.
“Tempat ibadah ini sangat kami butuhkan mengingat jarak masjid terdekat dengan rumah warga saja mencapai tiga kilometer. Sehingga kami berinisiatif membangun musala dengan dana patungan,” ujar Rahman di PN Cikarang, Rabu 24 Februari 2021.
Namun, dalam prosesnya, pembangunan musala itu justru dipersoalkan oleh pihak pengembang dari klaster milik Sinarmas group karena dinilai menyalahi aturan. Sesuai perizinannya, tanah itu diperuntukkan bagi rumah tinggal.
“Katanya izinnya untuk rumah tinggal. Padahal dalam perjanjian jual beli dengan pengembang, penggunaan lahan itu dikuasakan pada pemilik agar digunakan secara tanggung jawab. Tapi ternyata dipersoalkan hingga digugat karena dinilai wanprestasi,” ujarnya.
Rahman menuturkan, sebenarnya warga tidak serta merta membangun musala melainkan menempuh perizinannya, mulai dari persetujuan warga hingga mengurus ke Pemerintah Kabupaten Bekasi.
“Berdasarkan aturan, izin itu sebenarnya tinggal menunggu rekomendasi dari Dinas PUPR, seluruh persyaratannya telah dipenuhi tapi pihak PUPR katanya minta harus ada persetujuan dari pengembang. Padahal dalam aturannya tidak harus. Ini yang juga jadi pertanyaan kami,” katanya.
Namun, kata Rahman, warga turut meladeni proses gugatan tersebut. Bahkan, warga siap memenuhi persyaratan yang diajukan pengembang selaku tergugat. Namun, dalam proses mediasi tidak tercapai kemufakatan.
Sementara, persyaratan yang diajukan pengembang itu pun melenceng dari substansi gugatan tentang wanprestasi. Pengembang dinilai malah mengintervensi kegiatan musala.
Kata Rahman, dalam persyaratan yang diajukan, penggugat melarang musala yang didirikan warga menggelar salat Jumat.
Kemudian, musala pun tidak diperbolehkan mengumandangkan azan dengan pengeras suara. Selanjutnya, musala pun dilarang menggelar pengajian.
“Ini sudah masuk dalam ranah menghalangi ibadah dan mengintervensi akidah kami sebagai seorang muslim. Ini sebuah pelanggaran serius. Sebaliknya, tuduhan wanprestasi yang selama ini digadang-gadang sama sekali tidak disentuh dalam proses mediasi,” ungkap Rahman.
Warga klaster milik Sinarmas group ini kemudian menilai gugatan itu tidak memenuhi unsur. Selain penggugat tidak fokus pada materi gugatan, pihak penggugat pun tidak pernah menghadirkan prinsipal. Padahal sesuai peraturan Mahkamah Agung, bilamana selama mediasi pihak prinsipal tidak hadir maka proses gugatan tidak bisa dilanjutkan.
“Ini setiap mediasi, sudah tiga sampai empat kali, prinsipal penggugatnya enggak pernah hadir. Malah mewakilkan pada karyawannya, berarti sebenarnya proses gugatan tidak bisa dilanjutkan. Kemudian soal izin pun sebenarnya kami sudah menempuh itu, jadi bukan tiba-tiba tanpa izin. Bahkan 95 persen warga klaster juga sudah menyetujui izin musala ini, termasuk warga yang non muslim juga menyetujuinya tapi kenapa pengembang mempersoalkannya,” jelasnya.
Sementara itu, usai persidangan, pihak kuasa hukum penggugat dari PT Putra Alvita Pratama pengembang dari klaster milik Sinarmas group masih enggan memberikan keterangan.