Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Bandung (IPKB), Nandi Herdiaman menuturkan banyak pelaku usaha tekstil di Bandung yang menjual mesin jahit setelah berhenti produksi.
Ia mengungkapkan para pengusaha konveksi tak kuat menghadapi persaingan dengan produk-produk impor yang kini membanjiri pasar domestik.
Jumlah pesanan yang semakin turun membuat banyak pengusaha tekstil memutuskan hubungan kerja atau PHK terhadap karyawannya. Tak sedikit pula pabrik yang tutup.
“Banyak juga yang mencari pekerjaan menjahit, biasanya korban PHK. Beda kalau (pesanan) naik, mereka justru mencari penjahit,” ujarnya, Rabu, 2 November 2022.
Sementar, Perkumpulan Pengusaha Produk Tekstil Provinsi Jabar (PPTPJB) mengungkapkan Jawa Barat sebagai pusat industri tekstil terbesar di Indonesia kini tengah mengalami badai PHK. Sejak dua pekan lalu, terjadi PHK di 14 kabupaten dan kota di Jawa Barat.
Hingga kini, tercatat jumlah karyawan yang terkena PHK di Jawa Barat mencapai 64 ribu pekerja dari 124 perusahaan. Sebanyak 18 perusahaan di antaranya terpaksa tutup dan imbasnya sekitar 9.500 karyawan kehilangan pekerjaannya.
Nandi yang juga pengurus industri kecil menengah (IKM) tekstil di Bandung, mengungkapkan industri rumahan mayoritas tak kuat bersaing dengan produk-produk impor di pasar domestik. Musababnya, produk impor yang masuk dijual dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan hasil produksi dalam negeri. Terlebih kini sedang banyak impor baju-baju bekas yang sedang digemari banyak konsumen.
Tingginya harga produksi menjadi salah satu penyebab pelaku IKM tak bisa bersaing dengan para importir. Menurutnya, tak sedikit produsen IKM tekstil yang tengah memohon bantuan agar mendapatkan orderan demi bisa menggaji karyawannya.
Biasanya, kata dia, dalam enam bulan sebelum hari raya lebaran maupun Natal, sudah banyak reseller atau penjual yang memesan stok produk-produk tekstil. Namun kini, penjual ragu-ragu karena volume pembelian terus menyusut seiring kenaikan harga bahan-bahan pokok. Ketidakpastian pertumbuhan ekonomi tahun depan juga menambah keraguan para penjual.
Ia berharap pengusaha IKM tekstil mendapatkan ruang lebih besar di pasar dalam negerinya sendiri. Sebab ia menilai daya beli di Indonesia masih besar ditambah inflasi yang masih relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara lainnya. “Saya yakin kalau pasar domestiknya dijaga, setidaknya 70 persen pasarnya dikuasai pasar lokal, maka IKM Indonesia akan maju,” ucap Nandi.
Selain banjir produk impor di dalam negeri, badai PHK di industri tekstil terjadi akibat penurunan daya beli di negara-negara tujuan ekspor terbesar seperti di Amerika Serikat dan Eropa. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmadja menjelaskan pelemahan daya beli tersebut telah menurunkan produksi hingga 30 persen.
Dampak dari situasi global itu, menurutnya, sudah mulai dirasakan para pelaku usaha tekstil sejak awal kuarter tiga 2022. Banyak pengusaha garmen mendapat permintaan dari pembeli untuk menunda pengirimannya. Jam kerja para pegawai pun akhirnya dipangkas demi menghemat keuangan perusahaan.
“Rata-rata di industri tekstil harusnya bekerja tujuh hari dalam seminggu. Tapi kini rata-rata sudah banyak sekali yang bekerja hanya 5 hari dalam seminggunya,” ujar Jemmy.
Jika dampak dari pelemahan daya beli itu tidak diantisipasi, ia memperkirakan situasi produksi di 2023 akan lebih buruk. Karena itu, ia berharap pemerintah bisa menjaga pasar dalam negeri dari produk-produk impor. Sehingga, produk ekspor Indonesia bisa dialihkan ke pasar domestik.