Kritikan tajam kembali dilontarkan pengamat politik kontroversial, Rocky Gerung kepada Presiden Jokowi terkait pembangunan Ibu Kota Nusantara atau IKN di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Rocky Gerung menyebutkan bahwa pembangunan IKN yang dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi seperti tidak ada analisa yang kuat terhadap dampak lingkungan. Pasalnya, dampak yang ditimbulkan kini mulai terlihat. Pencemaran lingkungan demikian nyata di tempat itu.
Berdasarkan fakta itulah Rocky Gerung angkat bicara. Ia menyebutkan bahwa dampak yang timbul saat ini merupakan buah dari pelaksanaan pembangunan yang tanpa didahului dengan analisa mengenai dampak lingkungan.
Dia menyebutkan bahwa pembangunan IKN saat ini, dilakukan pemerintah dengan cara mengutang. Pengutangan itu sebagai cikal bakal pembangunan ibu kota negara yang dipindahkan dari ibu kota negara yang selama ini berpusat di Jakarta.
Sementara kerusakkan lingkungan yang terjadi saat ini, kata Rocky Gerung, bukan karena letusan gunung api atau hal lainnya, tetapi dampak dari industri-industri yang ada di tempat itu.
Hal ini, kata Rocky Gerung, disebut dengan antropesin, dimana jumlah kerusakan yang dibuat manusia, lebih besar dari jumlah kerusakan yang dibuat oleh alam.
Pada kesempatan itu, Rocky Gerung juga menyinggung tentang bencana kelaparan yang terjadi di Papua beberapa waktu terakhir.
Dikatakannya, di Papua ada 8.000-12.000 manusia yang saat ini berada dalam keadaan gawat. Masalahnya adalah gagal panen dan tidak ada makanan. Padahal berdasarkan program pemerintah, Papua itu masih dalam food estate.
Ironisnya, lanjut Rocky Gerung, ada food estate ada kelaparan. Dan, ini telah menjadi isu internasional lantaran ada 14 warga sipil meninggal dunia.
Dalam kondisi yang demikian, katanya, kita masih sibuk mencari utangan untuk membangun IKN.
Sekarang ini, katanya, hutan diubah menjadi food estate. Pengubahan wilayah hutan itu tanpa minta izin pada cacing yang sudah menyuburkan tanah, tanpa izin ular yang menyebarkan beradaban hewan, tanpa izin burung yang bersarang di pojok pohon.
Jadi, keadaan krisis ekosistem saat ini karena kesalahan dalam mendesain sistem ekonomi.
Bahwa Pak Jokowi memutuskan untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan, ya itu boleh saja. Tetapi harus pula meminta izin pada masyarakat adat.
Itu prinsip hukum lingkungan da?am istilah singkat Amdal (Analisa Dampak Lingkungan). Jadi Amdal harus mendahului keputusan politik.
Namun yang terjadi, adalah Presiden Jokowi dan kabinetnya memutuskan untuk memindahkan ibu kota tanpa Amdal, di situ maksiatnya.
Jadi logikanya terbalik. Seperti menaruh kereta di depan kuda itu kok tolol.
Makanya kita harus diskusikan ini karena menjadi problem dunia. Itu yang menyebabkan saya mengkritik IKN.
Ngapain bikin IKN yang isinya adalah semen, batangan besi sambil merusak ekosistem.
Saya pernah satu waktu tiba di bandara Banyuwangi ada seorang bapak berprofesi petani sawit membawa dua anaknya.
Katanya saat Pak Jokowi kampanye janjinya harga sawit akan stabil dengan harga Rp 2000-2500, dengan perhitungan itu dia bisa menyekolahkan hingga kuliah kedua anaknya di Jawa Timur, namun pada waktu ketemu saya harga sawit cuma Rp 700, berati salah satu anaknya harus dipulangkan ke Sumatera.
Janji pemerintah membatalkan harapan satu keluarga. Ini seperti butterfly effect. Kalau alasannya permintaan gak ada maka pemerintah harus memitigasi, kasih dong beasiswa untuk anak petani ini.
Kalau kabinetnya berhasil apa harus kita puji? Ya enggak. Karena janji mereka menaikkan ekonomi. Kalau janji menaikkan dari 4 persen jadi 7 persen memang itu kewajiban pemerintah. Tapi kalau bisa naik hingga 12 persen baru kita kasih pujian.
Mari kita kasih kritikan yang paling tajam. Kritik adalah dasar dari demokrasi yang mesti cari solusi kabinet yang kita gaji, anggota DPR. Masyarakat yang bayar pajak ke mereka .