Sebelum rencana Proyek Eco City ternyata ada rencana lain yang akan dibangun di wilayah ini. Hal ini diungkapkan oleh anggota DPRD Kepulauan Riau (Kepri), Taba Iskandar.
Taba Iskandar angkat bicara terkait polemik Proyek Eco City di Pulau Rempang. Dia mengaku menolak rencana relokasi warga dari 16 kampung tua di pulau tersebut, karena dianggap bukan solusi untuk menyelesaikan polemik yang sudah berlarut-larut.
Menurut Taba riwayat pengembangan Pulau Rempang, dimulai sejak 2004. Semuanya dimulai dari surat DPRD Kota Batam bertanggal 17 Mei 2004, yang dia teken saat menjabat sebagai Ketua DPRD Batam.
Isi surat tersebut menyetujui investasi PT Makmur Elok Graha (MEG) milik pengusaha Tomy Winata yang mendapat rekomendasi dari 6 fraksi di DPRD Batam.
Menurut Taba, DPRD Batam memberikan respons positif kepada Pemerintah Kota (Pemko) Batam yang ingin mengembangkan Pulau Rempang menjadi kawasan perdagangan, jasa, industri, dan pariwisata dengan konsep Kawasan Wisata Terpadu Eksekutif atau KWTE.
Pada 26 Agustus 2004, pengusaha Tommy Winata, pemilik PT MEG menandatangani kerja sama dalam bentuk nota kesepahaman dengan Pemkot Batam.
Wali Kota Batam ketika itu adalah Nyat Kadir. Sementara Ismeth Abdullah yang menjabat penjabat Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) turut menyaksikan langsung penandatangan perjanjian kerja sama di lantai empat Kantor Pemkot Batam.
Kerja sama, kata dia juga mencakup membuat studi pengembangan Pulau Rempang.
Dalam KWTE, kata Taba, destinasi wisata juga menyangkut soal pusat judi dengan membangun kasino mewah di sana.
“Tidak ada lanjutan proyek yang sekarang (Eco-City Rempang) dengan proyek KWTE tahun 2004. Investasi KWTE ini terkait pariwisata, konsepnya akan membangun destinasi pariwisata seperti di Genting Higland (Malaysia) atau Sentosa (Singapura),” ujar Taba.
Taba Iskandar menyatakan bahwa pernyataan Kepala BP Batam Muhammad Rudi yang menyatakan proyek Eco City hanya melanjutkan kerja sama pengembangan Pulau Rempang melalui PT Makmur Elok Graha (MEG), perusahaan milik Tomy Winata (TW) adalah keliru.
Karena proyek yang sekarang ini berbeda dengan proyek KWTE tahun 2004.
“Saat itu, memang dilakukan kerja sama antara BP, pemkot dan PT MEG. DPRD Batam hanya memberi rekomendasi saja, dengan landasan peraturan daerah (perda) KWTE. Jadi semua kegiatan hiburan malam dipindahkan ke Rempang, tapi ke Rempang Laut yang pulaunya terpisah dari daratnya,” ujarnya.
Status lahan Pulau Rempang saat itu, katanya juga masih belum Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atas nama BP Batam maupun Pemkot Batam. Saat itu, masih status quo, jadi masih tanah negara ada hutan lindung dan lainnya.
Setelah itu, karena ketiadaan infrastruktur di Rempang, Pemkot Batam memberikan lokasi sementara di Marina Batam selama 5 tahun untuk pengembangan KWTE. Namun setelah itu Kapolri saat itu, Sutanto beranggapan bahwa kawasan wisata tersebut akan dibuat tempat judi.
“Maka batal Perda KWTE dan perjanjian kerja sama tersebut selesai, dan tidak ada lanjutan hingga sampai proyek Eco City ini,” ungkapnya.
PT MEG masuk melalui pemerintah pusat, dan kembali mendapat hak mengelola Pulau Rempang, namun dengan jenis proyek yang berbeda. Proyek Eco City Rempang lebih mengutamakan investasi industri yang didukung oleh pariwisata.
“Perbedaan lainnya KWTE itu program lokal, sedangkan proyek Eco-City ini Program Strategis Nasional (PSN),” jelasnya.
Mengenai isu relokasi, Taba menyebut BP Batam harus lebih bijak dan humanis dalam mendekati warga setempat. Dia meminta rencana relokasi tersebut didesain ulang agar tidak ada masyarakat yang dirugikan.
“Soal relokasi ini ini tidak tepat. Beda dengan masyarakat yang tinggal di rumah liar, karena jika suatu saat lahannya dibangun, maka bisa direlokasi. Sedangkan di Rempang, mereka duluan yang tinggal di situ sebelum ada BP Batam ataupun Kota Batam ini,” jelasnya.
DPRD Kepri mendukung investasi tetap berjalan, tapi juga harus memikirkan kepentingan rakyat lokal.
“Sebaiknya konsep pengembangan Rempang didesain ulang. Itu dengan mengintegrasikan masyarakat tempatan ke dalam konsep pembangunan, tanpa melakukan relokasi,” ungkapnya.
Menurut Taba, tidak semua lahan di Rempang dapat dijadikan kawasan industri, karena ada yang merupakan daerah pemukiman, dan bahkan ada yang berstatus hutan lindung.
Sebagai contoh, pengembang dapat melakukan renovasi terhadap rumah warga yang kurang layak dan menyediakan sarana tangkap bagi nelayan, yang jadi mata pencaharian penduduk di wilayah tersebut.
“Kalau rumah tinggalnya tidak cocok dengan kawasan yang akan dijadikan pariwisata, rumahnya yang diperbaiki. Karena dia mencari makan di sana, bukan ditempatkan di rumah susun atau dibuatkan rumah lagi. Kampung itu adalah bagian integrasi dari konsep pengembangan kawasan. Wisatawan pasti rindu juga dengan kearifan lokal,” ujarnya.
Kemudian, pengembang dapat mengonversi lahan masyarakat yang ingin dijadikan lokasi industri.
“Dihitung luasan tanahnya. Jika masuk dalam kawasan industri, maka itu akan menjadi saham di perusahaan tersebut maka dia punya masa depan sampai anak cucunya,” tambahnya.