Usai terbongkarnya kasus rapid test antigen bekas di Bandara Kualanamu Sumatera Utara. Kini Indonesia kembali dikejutkan dengan bisnis rapid test antigen ilegal bernilai miliaran rupiah di Jawa Tengah.
Bisnis rapid test Antigen illegal ini dibongkar oleh Subdit 1 Industri Perdagangan dan Investasi (Indagsi) Direktorat Kriminal Khusus Polda Jateng.
terungkap bahwa alat-alat rapid test antigen yang diperjualbelikan dengan omzet miliaran rupiah itu tak memiliki izin edar dari Kementerian Kesehatan.
Kapolda Jateng Irjen Pol Ahmad Lutfi mengatakan beberapa orang telah diamankan, dengan salah satunya adalah tersangka SPM (34). Tersangka inilah yang menjadi distributor dari perusahaan yang mengedarkan alat rapid test antigen ilegal tersebut.
“Pada tanggal 27 Januari 2021 petugas kami mendapati adanya transaksi penjualan alat rapid test yang diduga tidak memiliki izin edar. Di sana kami menemukan 2 orang kurir,” ujar Lutfi, Rabu (5/5/2021).
“Setelah kami dalami alat rapid test antigen berasal dari orang bernama SPM yang mempunyai gudang di Jalan Perak, Kwaron Bangetayu,” imbuh Lutfi.
Polisi kemudian berhasil mengamankan ratusan kotak barang bukti, yakni alat rapid test antigen ilegal tanpa izin Kemenkes.
Terdapat 245 boks alat rapid test antigen bermerek Clungene, lalu 121 boks lain bermerek Hightop, dan 10 boks lain yang tak diidentifikasi mereknya.
“Masing-masing boks berisi 20 hingga 25 item alat. Banyak itu kalau dihitung-hitung,” ungkapnya.
Alat rapid test antigen ilegal itu tidak hanya dipasarkan secara perseorangan, tetapi juga ke klinik dan rumah sakit. Praktik ilegal ini sudah berjalan sejak Oktober 2020 sampai Februari 2021 kemarin.
“Pendapatan kotor senilai Rp2,8 miliar. Tapi dalam satu minggu, tersangka setidaknya dapat meraup keuntungan hingga Rp40 juta. Kalau satu bulan bisa Rp160 juta,” ujarnya.
Lutfi mengimbau masyarakat untuk lebih waspada dalam membeli produk-produk kesehatan, apalagi jika tergiur dengan harga yang murah. “Satu, kalau tidak ada izin edar jangan-jangan dipalsukan. Kedua, jangan-jangan terkait dengan kualifikasi kesehatan tidak memenuhi syarat,” tandas Lutfi.