Baru saja Jerome Polin lewat videonya bicara soal utang negara dan viral di media sosial. Konten kreator sekaligus ahli matematika ini diminta menghitung berapa rupiah yang harus dibayar rakyat apabila ingin melunasi utang negara saat ini.
Dalam video yang diunggahnya lewat aplikasi TikTok, Jerome Polin memulai perhitungannya terkait utang negara dengan mencoret-coret papan tulis di kamarnya.
Awalnya, Jerome menuliskan utang negara ketika video itu dibuat pada Sabtu (24/6/2023), yakni Rp 7.849,8 triliun. Sedangkan, jumlah rakyat Indonesia sebagai pembaginya sebanyak 273,52 juta orang.
Jerome pun membagi total utang negara dengan total rakyat Indonesia. Hasilnya, rakyat Indonesia harus patungan sebesar Rp 28.690.000 per orang agar utang negara bisa dilunasi.
“Rp 28.690.000 kira-kira per orang,” ujarnya menahan tawa.
“Gimana guys, mau patungan ga?” tanya Jerome nyinyir.
Setelah sempat membengkak akibat pandemi Covid-19, posisi utang Indonesia per April 2023 mengalami penurunan secara bulanan.
Kendati rasio utang masih di batas aman, pemerintah diminta tetap waspada dengan laju kenaikan utang untuk jangka menengah-panjang, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi akhir-akhir ini.
Mengutip dokumen APBN Kita edisi Mei 2023 yang dirilis Kementerian Keuangan awal pekan ini, sampai 30 April 2023, posisi utang pemerintah berada di angka Rp 7.849,8 triliun dengan rasio utang 38,15 persen terhadap produk domestik bruto.
Secara nominal dan rasio, posisi utang Indonesia menurun dibandingkan 31 Maret 2023, di mana rasio utang tercatat 39,17 persen atau Rp 7.879 triliun.
Rasio utang juga menurun dibandingkan April 2022.
Saat itu, rasio utang sebesar 39,09 persen dari PDB meski nominal utang bertambah dari posisi Rp 7.040,32 triliun pada tahun lalu.
Dengan kondisi terbaru itu, posisi utang pemerintah masih di bawah batas aman.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang berlaku sejak era reformasi, batas aman (threshold) utang pemerintah maksimal 60 persen dari PDB dan defisit APBN maksimal 3 persen dari PDB.
Per akhir 2022, defisit fiskal berhasil ditekan ke 2,38 persen terhadap PDB.
Dalam laporan APBN Kita, Kemenkeu menyatakan bahwa posisi utang menurun akibat pembayaran cicilan pokok utang pada April yang lebih besar daripada penerbitan utang baru.
Selain itu, posisi rupiah yang menguat terhadap valuta asing bulan lalu juga ikut berkontribusi pada penurunan utang.
Menurut Wakil Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto, Rabu (24/5/2023), kendati rasio masih di batas aman, pemerintah tetap perlu mewaspadai laju kenaikan utang untuk jangka menengah-panjang.
Ia menilai, batas aman defisit APBN dan rasio utang yang diatur di UU Keuangan Negara sudah tidak terlalu relevan untuk mengukur aman atau tidaknya posisi utang negara saat ini.
”Kalau hanya mengacu pada dua indikator itu memang utang kita akan selalu dikatakan aman, tetapi kenyataannya lonjakan utang kita cukup besar dalam lima tahun terakhir meski itu karena pandemi,” katanya.
Kenaikan utang saat pandemi terjadi di hampir semua negara. Akibat turunnya pendapatan dan naiknya kebutuhan belanja, meski masih di batas aman, rasio utang RI membengkak hingga di atas 40 persen terhadap PDB.
Pada 2020, rasio utang terhadap PDB mencapai 38,68 persen.
Pada 2021, rasio utang menembus angka tertinggi sejak reformasi, yaitu 41 persen terhadap PDB.
Sementara, pada 2022, rasio utang mulai menurun ke 38,65 persen. Sebagai perbandingan, pada 2019, rasio utang negara terhadap PDB masih di bawah 30 persen atau 29,8 persen, yakni Rp 4.779,28 triliun.
Dari sisi nominal, utang pemerintah bertambah Rp 3.070,5 triliun sejak pandemi.
Menurut Eko, ada beberapa faktor risiko dalam pengelolaan utang negara.
Pertama, profil jatuh tempo utang Indonesia dengan rata-rata tertimbang jatuh tempo (average time maturity/ATM) di kisaran delapan tahun yang aman untuk jangka pendek, tetapi bisa membebani untuk jangka menengah-panjang.
”Bermain di surat utang jangka panjang memang aman untuk sekarang karena ditagihnya masih 5-10 tahun lagi. Namun, ini perlu diwaspadai untuk jangka panjang, apalagi kalau tren utang terus meningkat,” katanya.
Kedua, laju pertumbuhan ekonomi dan pendapatan negara yang tidak seimbang dengan laju kenaikan utang.
Ia mengatakan, pertumbuhan ekonomi ada di kisaran 5 persen, tetapi pertumbuhan utang rata-rata 12-14 persen.
Laju penerimaan negara tahun ini dan tahun depan yang mulai termoderasi akibat berakhirnya momentum kenaikan harga komoditas, juga bisa menambah risiko kenaikan utang.
”Ibarat income kita tumbuh 5 persen per tahun, tetapi utang tumbuh dua kali lipatnya. Ini yang membuat pada titik tertentu di masa depan ini bisa menjadi risiko,” ujar Eko.
Ia juga menyoroti utang tersembunyi dalam bentuk utang badan usaha milik negara (BUMN) yang bisa menambah risiko.
”Meski pemerintah tidak selalu serta-merta menalangi setiap BUMN yang merugi, risiko itu tetap ada sehingga ada pandangan bahwa utang kita sebenarnya lebih dari Rp 7.000-an triliun karena unsur hidden debt itu,” ujarnya.