Pemerintah Arab Saudi secara resmi menerbitkan surat edaran terkait pembatasan penggunaan pengeras suara masjid. Surat edaran itu berisi kewajiban agar volume pengeras suara tidak melebihi sepertiga volume maksimal.
Menurut Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily, sebenarnya di Indonesia aturan soal pengeras suara di masjid sudah ada sejak lama.
“Sebetulnya, kita juga sudah memiliki aturan khusus tentang penggunaan pengeras suara yang dipergunakan dalam masjid atau musala. Aturan ini dikeluarkan oleh Dirjen Bimas Islam dan sifatnya masih sebatas imbauan,” ujar Ace, Kamis (27/5/2021).
Ace juga menyebut, aturan tentang tuntunan penggunaan pengeras suara di masjid, langgar, dan musala sudah ada sejak 1978. Aturan itu tertuang dalam Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978.
Instruksi Dirjen itu kata Ace secara jelas dan terperinci sudah mengatur waktu-waktu penggunaan pengeras suara, misalnya pengeras suara bisa digunakan paling awal 15 menit sebelum waktu salat Subuh.
“Pada prinsipnya dalam pengaturan pengeras suara ini hanya diatur soal adzan yang diperbolehkan menggunakan suara ke luar masjid atau musala. Selebihnya, seperti pengajian, membaca Al-Quran, doa dan kegiatan lainnya menggunakan pengeras suara ke dalam,” ujar Ace.
Secara substansi kata Ace, aturan tersebut sudah baik, namun tinggal Kementerian Agama RI mensosialisasikannya ke masyarakat muslim untuk dijalankan.
Dijelaskan Ace, substansinya, pengeras suara masjid atau musala sebaiknya dipergunakan untuk azan dan iqomat sebetulnya patut ditiru. “Kita juga harus memperhatikan kondisi keragaman masyarakat di suatu daerah dimana letak masjid itu berada,” katanya.
Lebih lanjut, Ace menilai seharusnya memang aturan itu dievaluasi. Namun jika substansinya masih relevan untuk dipertahankan dan kemudian disosialisasikan, seharusnya Kementerian Agama RI dapat melakukan hal tersebut.
“Artinya, secara regulasi, kita jauh lebih maju dibandingkan dengan di Arab Saudi. Masalahnya, sejauhmana implementasinya di masyarakat. Apakah sudah tersosialisasi ke seluruh masjid dan musala? Apakah perlu dinaikkan statusnya bukan lagi sebagai instruksi Dirjen, tapi Peraturan Menteri Agama (PMA), misalnya? Adakah sanksi jika ada yang melanggar aturan tersebut?,” ucapnya.
“Hal-Hal semacam ini yang seharusnya dikaji kembali oleh Kementerian Agama,” pungkasnya.
Sementara, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas mengaku bingung dengan kebijakan baru itu. Meski begitu, Anwar menghormatinya.
“Itu kan hak mereka untuk mengatur (warga) Saudi tetapi saya bingung juga atas dasar apa mereka membuat kebijakan itu,” ujar Anwar, Selasa (25/5/2021).
Menurut Anwar, kebijakan soal pengaturan pengeras suara masjid itu tidak mudah diterapkan di Indonesia. Anwar menyebut negara Indonesia merupakan negara demokrasi sehingga juga memerlukan masukan dan opini masyarakat sebelum terbentuknya suatu kebijakan.
“Itu kan kerajaan ya ya biasanya, kalau kerajaan kalau rajanya sudah memerintahkan berarti rakyatnya tidak ada yang berani protes, tetapi kita kan (negara) demokrasi tidak mudah,” tutur Anwar.
Anwar menambahkan kenyamanan warga soal pengeras suara masjid juga perlu dipertimbangkan. Sehingga, Anwar menyarankan pemerintah tidak perlu membuat suatu kebijakan.
“Barangkali imbauan nya saja pemerintah tidak usah membuat kebijakan berupa peraturan tetapi imbauan, mengimbau supaya pengurus Masjid di mana pun di dalam mempergunakan speaker masjid atau musala supaya lebih arif dan bijaksana sehingga tidak menimbulkan masalah di tengah-tengah masyarakat,” ucapnya.
Dalam hal ini, ormas-ormas Islam, terang Anwar, juga perlu turun tangan. Ormas Islam harus memberikan pengertian ke masyarakat terkait pengeras suara masjid.