Perjalanan Penyanyi Jazz Iga Mawarni Menjadi Seorang Mualaf

- Advertisement -
Penyanyi jazz senior, Iga Mawarni, nyaris tak terdengar kabarnya, usai sang suami Charles Rubian Arifin meninggal dunia pada tahun 2016 lalu. Ibu dari seorang putra yang kini mulai beranjak dewasa itu sangat populer dengan lagu ‘Kasmaran’

Sebenarnya banyak yang menarik dari penyanyi dan penari Iga Mawarani di masa lalu. Salah satunya adalah saat ia memutuskan untuk menjadi seorang mualaf. Lalu apa yang memicu Iga untuk menjadi seorang muslim?

Iga Mawarni mengaku mendapat kesejukan & ketenangan hati setelah jadi mualaf. Iga Mawarni menjadi mualaf sejak 23 Maret 1994 di Malang, Jawa Timur. Ia mengaku rela berpindah agama karena menemukan kekuatan jiwa dari Islam, saat ia melalui masa-masa yang kelam dan pahit.

Iga Mawarni

Perjalanan pencarian keimanan Iga Mawarni penuh perjuangan. Iga dibesarkan di keluarga Katolik. Iga menemukan kebimbangan akan agama yang selama ini diyakininya sejak melakukan diskusi dengan teman-teman seangkatan di kampus yang latar belakangnya berbeda – baik suku maupun agama.

Itu yang membuat Iga Mawarni rapuh iman karena dia berbeda di antara teman-temannya dan minoritas. Akhirnya Iga mengucapkan dua kalimat syahadat (sebagai persyaratan masuk agama Islam)

Memilih islam sebagai tuntunan hidup bukanlah hal mudah, rintangan juga beruntun datang, akan tetapi alhamdulilah berkat kekuatan hati semuanya dapat teratasi. Bagi Iga, berpindah agama tidaklah suatu perbuatan yang salah.

Iga Mawarni

Tidak ada banyak yang berubah dari diri Iga Mawarni, baik dari segi gaya hidup ataupun pergaulan, perubahan hanya pada masalah kegiatan religi saja. Untuk tetap konsisten pada agama yang dipilihnya, mereka lebih banyak berkumpul dengan orang-orang yang mempunyai pengalaman religius, seperti ustad.

Apa yang menjadi keinginan mereka tidaklah banyak, mereka hanya ingin hidup rukun tanpa memandang SARA dan hikmah yang dipetik selama mereka menjadi mualaf adalah lebih tenang karena menjalani sesuai hati.

Iga Mawarni

Iga Mawarni Mengungkapkan Perjalanannya Sebagai Seorang Mualaf

Tapi aku nggak langsung mempelajari Islam. Karena aku merasa ada jurang begitu dalam di antaranya (Islam-Kristen). Melalui sejumlah buku aku melanglang. Aku pelajari agama Hindu, lalu Budha. Namun hati nuraniku tetap ragu ketika sampai pada konsep ketuhanan. Sekalipun ajarannya bagus sekali. Eh, mentok-mentoknya aku pelajari juga ajaran Islam.

Sejujurnya aku gengsi. Antara ogah dan ingin tahu terus bergelora dalam diriku. “Kenapa mesti Islam?” hatiku memprotes. Langkah pertama aku baca cerita para nabi melalui buku-buku tafsir. Alasanku, Islam dan Kristen itu historinya sama. Kecuali tentang kerasulan Isa AS dan Muhammad SAW. Di Kristen Nabi Isa utusan terakhir. Tapi dalam Islam ada lagi nabi yaitu Nabi Muhammad SAW. Sebagai manusia biasa, aku melihat bahwa al Qur’an itu lebih manusiawi. Artinya segala pertanyaan ada jawabannya. Ada hukum sebab akibat. Kenapa dilarang begini? Karena bisa berakibat begini. Itu yang bikin aku tertarik masuk Islam.

Menurutku, landasan awal seseorang meyakini suatu kepercayaan itu karena buku besarnya (kitab). Melalui itu kita dapat bersentuhan langsung dengannya. Bagiku itu sudah jadi pegangan kuat. Sedangkan di agama lain, aku lihat banyak ayat yang ditulis oleh orang-orang pada masa itu.

Dan aku lihat beberapa surat dalam Alkitab yang menceritakan kejadian sama tetapi versinya berbeda. Buatku hal semacam itu merupakan kasus besar. Karena kitab suci itu ternyata sudah disentuh oleh tangan manusia. Sedangkan ajaran Islam lebih realitis. Karena Al-Qur’an diwahyukan sebagai suatu keharusan. Sedangkan sunah Rasul lain lagi. Yaitu bersifat nggak mengikat. Ini lebih manusiawi.

Proses hijrahku menjadi muslim nggak begitu mulus. Apalagi keluargaku Nasrani aktif yang fanatik. Aku mengucapkan dua kalimat syahadat pada tanggal 23 Maret 1994 di Malang, Jawa Timur. Padahal aku kuliah di Jakarta. Memang semasa pencarian, aku punya sohib di kota apel itu. Dia nggak bersedia mengajari tentang Islam, melainkan hanya menunjukkan seseorang yang menurutnya lebih tepat. Yaitu Kiai Zulkifli dan Pak Amir.

Ternyata salah seorang dari mereka juga muallaf. Banyak pengalaman religiusnya yang bikin aku terkesan. Disamping memantapkan niatku masuk Islam. Cobaannya, ibuku aktivis kegiatan gereja. Karenanya aku mengupayakan agar keislamanku nggak diketahuinya dalam kurun waktu dua tahunan.

Ternyata beliau tahu lebih awal dari yang aku rencanakan. Sebagai anak pertama pasti ibuku menaruh harapan besar terhadapku. Begitu tahu anaknya berbeda keyakinan, tentu batinnya terpukul. Itu cobaanku yang paling besar. Dimana aku merasa takut kalau ibu marah. 

Tapi begitu semuanya sudah terbuka, aku pasrah sama Allah. Aku tetap menempatkan diri sebagai anak, yang harus senantiasa menghormatinya. Aku bersyukur karena akhirnya sikap mereka sudah lebih baik. Tapi selama “perang dingin” berlangsung aku nggak pernah mau menyinggung soal agama.

Kalau hari besar agama baik natal atau lebaran aku sengaja nggak kumpul sama keluarga. Aku tahu, mereka kecewa terhadapku. Kalau aku hadir dalam hari besar mereka, tentu ada perasaan nggak enak. Namun komunikasi tetap jalan. Aku senantiasa mengunjungi orang tua. Alhamdulillah, pada lebaran beberapa tahun lalu, ibu menemuiku. Aku anggap ini blessing. Lebih dari itu, semua ini sudah diatur oleh Allah Swt. Aku yakin itu.

Iga Mawarni

spot_img

Trending Topic

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Hot News

Game

PENTING UNTUK DIBACA