Kisah perjalanan mualaf kali ini dari Ashley Pearson Khan yang berasal dari negara bagian Arkansas, Amerika Serikat. Ia merupakan salah satu perwakilan World Hijab Day dari Amerika.
Ashley mengungkapkan perjalanannya menjadi seorang mualaf melalui akun Youtube Trifty Qurrota Aini, yang merupakan perwakilan World Hijab Day dari Indonesia.
Ashley mengaku menjadi mualaf dengan mengucapkan dua kalimat syahadat pada 2 Juni 2020. “Ramadhan tahun ini sangat baik. Ada beberapa kali aku tidak minum dan makan sama sekali. Saat itu lebih sulit. Tapi secara keseluruhan semuanya berjalan dengan baik,” ungkapnya dikutip dari wolipop.
Ashley menceritakan sebagai seorang mualaf ia merasakan waktu puasa di Arkansas, Amerika Serikat cukup panjang. “Aku biasanya bangun jam 03.00 atau 04.00 pagi untuk makan. Dan aku sempat persiapkan makanan dan makan biasanya saya tidur lagi. Buka puasa biasanya sekitar jam 20.00,” jelasnya.
Trifty bertanya apakah bulan puasa ini membuat Ashley merasa kesulitan, karena tidak boleh makan dan minum untuk waktu yang lama. Dan menurut hijabers cantik, kesulitannya adalah dia kerap lupa jika sedang berpuasa.
“Aku berusaha untuk tidak jalan ke dapur, aku juga berusaha untuk menghindari air minum. Karena aku khawatir minum secara tidak sengaja, karena nggak ingat (lupa lagi puasa),” ujarnya.
Caranya agar tidak ingat dengan haus dan lapar adalah dengan menyibukkan diri dan beraktivitas. “Aku sering kepikiran gitu sih. Aku sering laper jam 11.00 dan jam 14.00 siang lebih lapar lagi, kemudian aku baik-baik saja,” katanya seraya tertawa.
Menjadi seorang mualaf di Amerika, Ashley pun menceritakan pengalamannya. “Amerika adalah negara besar, akan berbeda tergantung tempat kemana kamu pergi. Jadi, tempat di mana aku tinggal. Ada populasi muslimnya. Tapi di wilayah Selatan akan lebih jarang bertemu dengan orang Muslim,” katanya.
Wilayah tempat tinggal Ashley juga ada area tertentu yang ada umat Muslimnya dan sebaliknya. Ketika ia ke supermarket, ada beberapa wanita yang menatapnya karena melihatnya memakai hijab. Karena mereka tidak pernah melihat wanita pakai hijab atau sejenisnya.
Ashley memutuskan menjadi mualaf dan memeluk agama Islam pada Juli 2019. Keputusannya itu bermula ketika pada suatu hari ia pergi ke kampusnya dan melihat pengumuman tentang sebuah progam mahasiswa Amerika dengan mahasiswa internasional.
“Aku berpikir itu sangat keren, pengalaman seru dan bertemu dengan teman-teman baru. Belajar sesuatu dan mengajarkan mereka sesuatu. Itu progam mentorship dimana hanya dibutuhkan bicara dengan mereka seminggu sekali. Kamu bisa kirim email dan bertemu,” katanya.
Saat Ashley mengikuti program tersebut, ia melihat sekelilingnya dan ada dua orang wanita yang berhijab. Ashley pun berkenalan dengan wanita berhijab itu yang adalah mahasiswi S2 dari Arab Saudi .
“Aku sering berbicara tentang agama dan belajar banyak dari dia. Selama dua tahun bersamannya. Aku sering bertanya banyak hal,” tuturnya.
Berdasarkan obrolan dengan mahasiswi S-2 dari Arab Saudi itu Ashley kemudian tertarik menghadiri acara World Hijab Day yang digelar setiap tanggal 1 Februari. Dia juga ingin tahu mengenai hijab. Dia menonton YouTube dan mengambil syal yang ada di lemari.
“Aku latihan untuk memakai syal sebagai hijab. Saat memakai hijab saya berusaha agar memakainya dengan rapi. Aku tidak pernah merasa ragu dari sebelumnya,” ungkapnya.
Ashley kemudian mencoba memakai hijab saat pergi ke kampus dan dia sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Seperti mendapat tatapan dari pihak kampusnya dan tempat ia bekerja.
“Mereka bertanya kepada aku dan malah ingin ikut serta dalam gerakan World Hijab Day. Saya posting di media sosial dan mendapatkan tanggapan positif. Terutama dari muslim-muslim lain, mereka sangat mengapresiasi,” katanya.
Setelah itu, Ashley melakukan riset terhadap World Hijab Day. Dia mengaku ingin menjadi ambassadornya. Keinginan tersebut pun tercapai pada 2017. Ashley saat itu ia mengikuti beberapa acara dan memakai hijab, padahal dia belum menjadi muslimah.
“Tahun 2018 aku mau bikin acara sendiri di kampus dan mendapatkan informasi jika agama Islam banyak disalah pahami oleh masyarakat. Para anggota masjid yang ada di kampus pun membantuku,” tutur Ashley.
Ashley membuat gerakan memakai syal atau penutup kepala dalam memperingati World Hijab Day. Ia melakukan tantangan berhijab selama 30 hari selama bulan Ramadan.
“Aku akhirnya memutuskan untuk melakukan tantangan itu. Aku membiarkan rekan kerjaku tahu bahwa aku pakai hijab,” sautnya.
Ashley pun mencoba belajar tentang cara salat, membaca Al-Qur’an, bangun sahur, mendengarkan kisah-kisah, belajar Islam, belajar menjadi mualaf dan mendengarkan podcast Islam.
“Aku belajar lebih banyak dan aku ingin menyelam lebih dalam. Dan akhirnya, aku sangat jatuh cinta kepada agama ini. Sebagian orang kaget ketika tahu saya bukan muslim. Karena saya sudah kenakan hijab,” kenangnya.
Saat itu ada yang bertanya kepada dirinya, apa yang membuatnya ragu. Ia pun berpikir jika keputusannya adalah perubahan besar dalam hidupnya setelah menjadi seorang mualaf.
“Aku merasakan kedamaian yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Lalu aku memutuskan untuk bersyahadat pada akhir Ramadan. Aku tidak bisa menggambarkan dengan kata-kata. Sangat luar biasa, aku bersyukur dan Allah sangat mengkaruniaiku,” katanya lega.
Menjadi mualaf di negara yang mayoritas penduduknya non muslim pastinya tak mudah untuk Ashley Pearson Khan. Dia pun berusaha membuat orang di sekitarnya memahami tentang kebudayaan Islam pada saat bulan suci Ramadhan. Apa itu puasa dan lainnya.
Ketika berada di lingkungan kerja, teman-teman Ashley yang biasanya mengajaknya makan siang. Pada momen itulah biasanya dia harus memberikan penjelasan mengenai ajaran Islam saat Ramadhan.
“Restoran mulai buka, orang mengajak aku keluar untuk makan. Dan aku nggak bisa lakukan itu. Seperti itu sedikit menantang. Aku bersyukur cuaca nggak makin panas. Karena pastinya lebih menantang kalau cuacanya panas,” ungkapnya.
Source: Wolipop