Pakaian adat yang ada di Papua banyak ragamnya. Salah satunya adalah Koteka yang seringkali kita dengar karena banyaknya pemberitaan di acara-acara televisi dan berita.
Selain Koteka, ada beberapa jenis pakaian adat Papua lainnya. Sebelum kita mempelajari apa saja jenisnya, ada baiknya kita mengetahui ciri-ciri pakaian adat Papua.
Sebagaimana yang kita ketahui, pakaian adat Papua belum terpengaruh oleh budaya luar sehingga masih sangat original dan genuine, benar-benar masih asli.
Konon, itu mengisyaratkan bahwa penduduknya hidup berdampingan dengan alam sekitar. Keunikan pakaian adat Papua tersebut menjadikan pakaian adat mereka dikenal di Indonesia dan dunia internasional.
1. Koteka
Koteka merupakan bagian dari pakaian adat Papua yang berfungsi untuk menutupi kemaluan penduduk pria asli Papua, sementara bagian tubuh lainnya dibiarkan terbuka sehingga nyaris telanjang. Koteka, secara harfiah memiliki makna sebagai pakaian. Koteka juga disebut dengan horim atau bobbe.
Koteka terbuat dari bahan kulit labu air yang telah dihilangkan biji dan buahnya. Labu air yang dipilih harus yang sudah tua karena labu yang tua jika dikeringkan mempunyai tekstur yang keras dan awet. Labu tua tersebut ditanam di dalam pasir atau tanah kemudian dibakar agar lebih mudah untuk mengeluarkan biji dan buahnya. Setelah berhasil dikeluarkan biji dan buahnya, labu dikeringkan dengan cara diangin-anginkan di atas perapian.
Bentuknya panjang seperti selongsong dan ujungnya meruncing seperti kerucut atau lebih mirip batang buah wortel. Di bagian ujung koteka diberi bulu ayam hutan atau bulu burung.
Koteka dipakaikan ke bagian vital pria. Agar tidak mudah lepas, di kiri dan kanannya terdapat tali agar koteka dapat melilitkan tali tersebut ke bagian pinggang penggunanya. Bagi laki-laki yang masih perjaka, koteka dipakai dengan posisi tegak lurus ke atas. Sementara bagi laki-laki yang memakai koteka dengan posisi ke atas dan miring ke kanan, melambangkan kejantanan dan memiliki status sosial yang tinggi ataupun kebangsawanan.
Anggapan umum yang beredar mengatakan bahwa ukuran, baik panjang dan besar, koteka melambangkan status pemakainya. Namun pada kenyataannya bukanlah demikian. Ukuran koteka dipilih berdasarkan aktivitas apa yang sedang dilakukan.
Koteka pendek digunakan saat mereka bekerja dan aktivitas sehari-hari seperti bercocok tanam, berburu, dan beternak. Sedangkan untuk acara-acara adat, mereka menggunakan koteka yang berukuran panjang.
Koteka yang dipakai oleh suku satu bisa berbeda dengan koteka yang dipakai oleh suku lain. Misalnya koteka yang digunakan suku Yali, mereka lebih menyukai bentuk labu yang panjang. Sementara itu ada suku lain, sebut saja suku Triom biasanya memakai koteka yang berbentuk dua labu.
Pada tahun 1950, penduduk pribumi Papua mendapatkan kunjungan sosialisasi penggunaan celana pendek. Kampanye ini bertujuan untuk mengganti peran koteka agar dapat menutupi bagian vital pria lebih menyeluruh.
Kampanye tersebut memerlukan perjuangan yang panjang dan tidak mudah. Penduduk yang ada di Lembah Baliem contohnya, Suku Dhani, terkadang menggunakan celana pendek, namun di saat yang lain mempertahankan koteka.
Secara perlahan penggunaan koteka dibatasi, terlebih penggunaan di tempat-tempat umum yang dapat dilihat oleh banyak orang misalnya di sekolah, di terminal, di kantor, dan lain-lain. Beberapa waktu lalu, viral berita dilarangnya penggunaan koteka di ruang sidang pengadilan. Keberadaan koteka di zaman ini lebih sering diperjualbelikan untuk cinderamata.
Penggunaan koteka masih banyak dijumpai di wilayah pegunungan, seperti Wamena. Jika ada wisatawan yang berfoto dengan penduduk yang menggunakan koteka, biasanya perlu membayar beberapa puluh ribu sesuai kesepakatan.
Pembatasan koteka ini dimulai tahun 1964 sejak dimulainya kampanye antikoteka. Kemudian pada tahun 1971, diadakan distribusi pakaian dan celana untuk penduduk di sana. Sayangnya distribusi tersebut tidak dibarengi dengan pemberian sabun cuci baju, sehingga baju dan celana yang sudah dipakai menjadi kotor dan tidak pernah dicuci. Akibatnya, banyak penduduk Papua yang terkena penyakit kulit.
2. Baju Kurung
Baju kurung merupakan pakaian adat Papua yang digunakan oleh para wanita sebagai atasan. Bahan dari baju kurung adalah kain beludru. Baju kurung mendapatkan pengaruh dari budaya luar Papua dan banyak dipakai oleh perempuan di Manokwari. Anda akan menemukan wanita Papua di Papua bagian Barat juga banyak yang mengenakan baju ini untuk acara adat.
Wanita yang mengenakan baju kurung ini memadupadankan penampilannya dengan rok rumbai. Tidak jarang para wanita menggunakan aksesoris tambahan saat mengenakan baju kurung ini. Hiasan rumbai bulu yang melingkar di pinggang, lengan, dan tepi leher.
Kombinasi baju kurung, rok rumbai, dan hiasan rumbai bulu biasanya ditambahkan beberapa perlengkapan lain agar tampak lebih serasi. Adanya gelang dan kalung yang terbuat dari biji-bijian yang keras dan penutup kepala yang terbuat dari bulu burung.
3. Rok Rumbai
Rok rumbai merupakan bawahan yang menutupi bagian tubuh bawah wanita Papua. Biasanya rumbai digunakan secara berpasangan dengan baju kurung. Rok rumbai terbuat dari bahan daun sagu yang telah dikeringkan kemudian dirajut dengan rapi hingga membentuk sebuah rok.
Rok rumbai biasanya digunakan oleh penduduk di wilayah pegunungan tengah atau dekat pesisir pantai. Beberapa kelompok yang masih menggunakan rok rumbai ini adalah Yapen, Sentani, Enjros, Nafri, Biak Numfor, dan Tobati.
Meski pada umumnya rok digunakan oleh wanita, namun beberapa pria di Papua juga mengenakan rok berumbai-rumbai ini pada saat diadakan acara adat. Meski tidak begitu banyak, Grameds tidak perlu terkejut sewaktu melihat saat berkunjung ke Papua.
Cara penggunaan rok rumbai untuk wanita dan pria berbeda. Jika seorang pria mengenakan rok rumbai, maka dia tidak mengenakan baju kurung seperti wanita. Jika seorang pria mengenakan koteka, biasanya wanita mengenakan rok rumbai tanpa baju kurung. Bagian tubuh atas mereka disamarkan oleh tato bermotif flora dan fauna yang tintanya terbuat dari bahan alami.
4. Pakaian Sali
Untuk mengenali seorang gadis masih lajang atau sudah menikah, bisa dikenali dengan pakaian yang dikenakan. Pakaian Sali merupakan yang hanya boleh digunakan oleh para gadis. Baju Sali ini dapat digunakan untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Wanita yang sudah menikah tidak diperbolehkan memakainya.
Grameds tidak akan mengira bahwa ini terbuat dari kulit pohon pilihan atau daun sagu yang kering. Salah satu kriterianya kulit pohon harus berwarna coklat supaya yang dihasilkan tampak sempurna, menarik, dan sedap dipandang. Karena jika dilihat sekilas, ini tampak seperti kain jahitan saat dipakai oleh para gadis Papua.
Sali digunakan dengan cara melilitkannya ke bagian tubuh dan diatur agar bagian dalam lebih panjang dibandingkan bagian luar.
5. Pakaian Adat Yokal
perempuan yang sudah menikah juga disediakan busana khusus. Fungsinya jelas, untuk menutupi tubuh wanita bagian atas dan hanya boleh dikenakan oleh mereka yang sudah menikah.
Yokal terbuat dari kulit pohon yang berwarna mencolok coklat tanah atau kemerahan dan dibuat dengan cara dianyam dan dililitkan memutari tubuh wanita.
6. Baju Kain Rumput
Pakaian adat ini merupakan pakaian yang sudah mendapatkan sentuhan modern. Baju kain rumput dapat digunakan oleh laki-laki maupun perempuan.
Dibuat dengan menggunakan bahan dasar pucuk daun sagu yang sudah dikeringkan. Daun sagu yang digunakan sebagai bahan harus diambil saat air laut sedang pasang. Daun sagu yang sudah diambil kemudian dikeringkan lalu direndam sebelum dianyam.
Daun tersebut kemudian dianyam dengan menggunakan bantuan alat berupa kayu sepanjang satu meter. Kayu tersebut berfungsi untuk mengaitkan ujung-ujung tali. Tali tersebut terbuat dari rumput-rumput, yang sebelumnya telah dikeringkan, yang dipilin menjadi satu.
7. Tato Alami
Tidak jarang kita temui gambar atau tato pada tubuh orang Papua. Tato tersebut berfungsi untuk menutupi tubuh bagian atas penduduk Papua. Hal ini lantaran terkadang penduduk Papua tidak mengenakan pakaian atas.
Menurut catatan sejarah, tato di Papua diperkirakan sudah ada sejak 3000 tahun yang lalu. Adalah orang-orang Austronesia dari Asia yang membawa tradisi tato ini ke Papua. Konon, tato itu dibuat bahan arang berbahan kayu yang dipirolisis bersamaan dengan getah pohon.
Saat ramuan getah dan arang dirasa sudah cukup untuk dicampurkan dengan bahan lain, duri sagu atau tulang dicelupkan ke dalamnya untuk ditusukkan ke pipi, dada, kelopak mata, betis, bagian belakang tubuh, dan pinggul.
Tato juga digunakan oleh pengantin pria agar tampak lebih tampan dan perkasa. Oleh karena itu tato pada pria bermotif buaya, ular, burung kasuari, atau ikan gergaji. Sementara pengantin wanita memakai tato untuk menambah kecantikan. Motif tato untuk pengantin wanita biasanya burung cendrawasih, belut, atau ikan sembilang. Selain itu, tato juga digunakan untuk menunjukkan simbol kecantikan, kekuasaan, atau status sosial seseorang.
8. Hiasan Rumbai di Kepala
Rumbai-rumbai di kepala bagaikan mahkota ini seringkali dipakai oleh penduduk Papua. Fungsi dari hiasan rumbai ini sebagai hiasan tambahan pakaian adat Papua.
Hiasan rumbai ini terbuat dari bulu burung kasuari yang berwarna putih atau kuning. Pemilihan bulu burung kasuari sebagai bahan hiasan rumbai karena bentuknya unik dan menarik. Terkadang hiasan ini juga dikombinasikan dengan bulu kelinci. Namun terkadang bulu burung kasuari diganti dengan ilalang sebagai bahan dasarnya.
9. Noken
Noken merupakan aksesoris pakaian adat Papua berupa tas anyaman khas Papua. Dulunya, tas ini dipakai dengan cara diikatkan pada kepala. Namun belakangan ini, noken dipakai dengan cara diselempangkan di bahu. Pembuatan Noken dilakukan dengan cara menganyamkan kulit kayu atau akar rotan.
Noken memiliki banyak fungsi yang penting dalam kehidupan orang-orang di Papua. Yatoo merupakan noken yang berukuran besar sehingga bisa digunakan untuk membawa kayu bakar, sayur-sayuran, umbi-umbian, kacang, kentang, dan barang-barang lain tidak terkecuali barang belanjaan di pasar. Jika Yatoo dalam keadaan kosong, tas tersebut bisa digunakan untuk menggendong anak. Noken jenis lainnya disebut Gapagoo. Karena ukurannya yang kecil, Gapagoo hanya dapat mengangkut barang-barang kecil seperti rokok atau sirih pinang.
Sampai saat ini, noken masih banyak digunakan oleh suku Asmat. Noken menjadi kebanggan tersendiri bagi penduduk Papua yang merantau ke luar pulau atau orang Indonesia yang merantau ke luar negeri. Di pasaran Noken memiliki harga yang tinggi. Tas anyaman ini dibanderol dengan harga mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah.
10. Gigi Hewan Babi atau Anjing
Seperti namanya, aksesoris ini terbuat dari gigi anjing dan gigi babi. Gigi babi ini diletakkan di antara lubang hidung pria Papua. Gigi babi ini digunakan sebagai identitas bahwa penggunanya adalah prajurit perang. Jika seorang prajurit sedang marah atau ingin berperang, maka gigi babi tersebut akan menghadap ke bawah.
Sementara gigi anjing digunakan untuk perhiasan berupa kalung. Kalung dari gigi anjing ini disebut dengan Koyonoo. Konon, gigi anjing merupakan salah satu harta tertinggi dalam tradisi di Papua. Taring anjing yang berwarna putih dan tanpa cacat (retak atau terkikis) memiliki nilai tukar yang lebih tinggi.
Pada beberapa suku, Koyonoo dapat digunakan untuk membayar denda adat, mas kawin, dan beberapa alat tukar lainnya.
Begitu banyak budaya Papua yang masih menjadi misteri buat kita. Beragam budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sudah selayaknya disikapi dengan bijaksana. Dengan demikian, kita bisa menjadikan perbedaan tersebut menjadi pemersatu bangsa, bukan pemecah bangsa.