Kericuhan pecah di Dogiyai, yang terletak di Pegunungan Tengah Papua, akhir pekan lalu, menyusul kematian Noldi Goo, balita berusia lima tahun dalam insiden kecelakaan di Distrik Kamu.
Massa yang terpicu oleh kematian balita itu, kemudian melakukan pengrusakan dan memicu aksi balasan. Akibatnya, enam kantor pemerintah, sejumlah kios dan puluhan rumah warga terbakar, termasuk milik Yuven Gobai, yang ludes terbakar.
Yuven mengatakan kericuhan itu dipicu oleh para pemuda yang merasa tidak terima dengan kematian balita yang meninggal akibat tertabrak truk proyek yang mengantar material pembangunan jalan di kampung itu.
Padahal ibu balita itu enggan memperpanjang masalah
“Kejadian itu kan yang kemarin mama bilang masalah ini tidak usah diambil alih masyarakat, tapi pemuda-pemuda langsung bertindak. Dari situ dimulailah kejadian, mulai dari sore sampai malam terjadi,” ungkap Yuven.
“Sebenarnya mama bilang, ‘Sudah, tidak usah’, tapi para pemuda yang merasa tidak terima,” imbuhnya.
Dari situlah, amuk massa bermula pada Sabtu (12/11) hingga malam harinya. Namun, pada Minggu (13/11) dia mendapati rumahnya ludes terbakar. Saat itu, dia sedang berada di rumah kerabatnya.
“Kejadian kemarin memang saya punya rumah sudah terbakar hangus.”
“Polisi dengan masyarakat pendatang,” ujar Yuven ketika ditanya siapa yang membakar rumah warga.
Kini, dia terpaksa mengungsi di rumah kerabatnya di Kampung Mawa. “[Sampai sekarang] belum kembali, mau kembali ke sana juga mau tinggal di mana, rumah sudah hangus semua,” katanya.
Selain rumah warga, sejumlah kios dan enam kantor pemerintah daerah ludes terbakar.
Dua hari setelah insiden, pada hari Senin (14/11), kepolisian daerah Papua menemukan seorang warga dalam kondisi terbakar dan dikuburkan secara tidak layak.
Humas Polda Papua, Kombes Pol Ahmad Musthofa Kamal mengatakan jasad warga pendatang bernama Iqbal itu ditemukan saat pihaknya melakukan pencarian terhadap sejumlah korban yang dilaporkan hilang.
Pada Selasa (15/11), aparat keamanan menggelar patroli di lokasi kerusuhan untuk menstabilkan aktivitas masyarakat yang terhenti akibat kerusuhan.
Kapolres Dogiyai, Kompol Samuel D Tatiratu mengungkap masih ada palang yang sengaja diletakan di jalan untuk menutup akses warga.
Selain itu, menurutnya, masih terasa ketegangan di tengah masyarakat sehingga membuat aktivitas perekonomian terhambat.
“Jadi hari ini saya selaku Kapolres Dogiyai dan beberapa rekan perwira serta anggota kita membuka palang hari ini, agar aktivitas mulai normal,” kata Samuel.
Rohaniawan di Dogiyai, Pastor Rufinus Madai, berkata “masyarakat secara spontan bereaksi” ketika mengetahui pekerja proyek, yang merupakan warga pendatang, menabrak balita hingga meninggal dunia.
“Tapi mereka brutal dan mengorbankan bangunan dan masyarakat.”
Akibatnya, kata Rufinus, sebagian besar warga pendatang mengungsi ke markas polisi dan militer, serta ke daerah terdekat, seperti Nabire akibat “situasi mencekam”.
“Karena aktivitas masyarakat macet total, mereka punya perekonomian, perdagangan maupun aktivitas sehari-hari itu macet total, maka mereka mengungsi, ada yang ke Nabire dan ada yang masih bertahan di Polres dan Koramil,” jelas Rufinus.
Sebagian warga yang lain, katanya, juga mengungsi di gereja. Dia memperkirakan sekitar 700 warga non-Papua mengungsi ke Nabire.
Reaksi warga yang melakukan pengrusakan dan memicu reaksi perlawanan sehingga menimbulkan gesekan antara warga asli Papua dan pendatang, disayangkan oleh advokat dan pegiat HAM dari Jaringan Damai Papua, Yan Christian Warinussy.
Warga yang menyampaikan ketidakpuasan akan insiden itu melakukan pengrusakan, dan akibatnya melebar lagi sampai kios-kios yang ditimpuki benda tumpul seperti batu dan kayu.
“Pada gilirannya, pengrusakan itu memicu reaksi perlawanan sehingga menimbulkan gesekan sosial di antara kelompok masyarakat lokal yang merasa tidak puas, dengan kelompok masyarakat non-lokal di sana yang datang untuk bekerja,” kata Yan.
“Sehingga mengundang reaksi aparat keamanan yang kemudian melakukan upaya untuk mengatasi huru hara itu dengan melepaskan tembakan,” jelas Yan.
Adapun, Kapolda Papua Irjen Pol Mathius Fakhiri telah mengeluarkan perintah untuk menangkap dalang kerusuhan yang terjadi di Dogiyai.
“Saya sudah memerintahkan Satgas Penegakkan Hukum Damai Cartenz untuk mengungkap siapa pelaku kekerasan yang diawali pembakaran truk yang menabrak korban dan truk yang berada di dekat tempat kejadian perkara (TKP),” ujar Mathius, seperti dikutip kantor berita Antara.
Namun, pakar konflik Papua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Adriana Elisabeth, berpendapat konflik terbaru ini mengindikasikan gejala berulangnya konflik sosial antara warga asli Papua dan warga pendatang.
“Kalau melihat konflik yang ada sekarang bukan tiba-tiba istilahnya, itu sudah ada persoalan yang lalu yang belum diselesaikan, kemudian ada pemicu jadi mudah sekali terbakarlah masyarakat,” ujar Adriana.
Maka dari itu, akar masalah apapun – seperti kecelakaan lalu lintas – bisa memicu api dalam sekam masalah yang belum diselesaikan.
“Artinya akar persoalan konfliknya belum selesai, makanya mudah sekali dipicu dengan kejadian yang sepele kesannya, malah menjadi gambaran bahwa ada persoalan dari sekedar kasus kecil yang kita anggap biasa terjadi,” jelas Adriana.
“Ini sebetulnya persoalan sosial yang sudah lama, tapi juga belum ada jalan keluar,” jelasnya kemudian.
Lebih jauh, Adriana memandang konflik yang terjadi di Papua tak hanya konflik bersenjata antara militer Indonesia dan kelompok pro-kemerdakaan TPNPB-OPM yang saat ini terfokus di Pegunungan Tengah Papua.
Dia mengatakan, “sudah ada gejala akan berulangnya konflik-konflik sosial”.
“Belakangan makin sering terjadi karena Papua sebagai daerah yang terbuka itu memberikan peluang bagi para pendatang untuk lebih banyak hadir di Papua.”
Artinya, orang-orang Papua dihadapkan pada fakta semakin banyak warga pendatang yang tinggal di wilayahnya.
Sementara itu, lanjut Adriana, warga Papua kurang bisa bersaing secara terbuka dengan pendatang yang lebih bersemangat untuk bertahan di tempat baru lebih tinggi.
“Ini kemudian secara kasat mata kita lihat perbedaan ekonomi antara orang Papua dengan pendatang. Juga di ranah politik, kan banyak non-Papua yang duduk dalam birokrasi dan parlemen di Papua.
“Ini sebetulnya persoalan sosial yang sudah lama, tapi juga belum ada jalan keluar. Karena ketika Papua sudah jadi daerah yang terbuka, sulit juga untuk melarang pendatang untuk hadir di Tanah Papua.
“Potensi konflik sosial ini menjadi luas. Kemudian belakangan sering muncul istilah “diskriminasi“ orang-orang Papua.”
Itu yang kemudian memicu anggapan bahwa pendatang tidak memberi kesempatan pada orang asli Papua berkembang lebih luas.
Source BBC