Hanya tersisa satu menteri Nasdem yang kini masih berada di Kabinet Indonesia Maju yang belum diseret ke kasus korupsi, yakni Menteri LHK Siti Nurbaya. Apakah menteri yang berasal dari Lampung ini akan mengalami nasib sama dengan dua menteri Nasdem sebelumnya?
Terbaru, Syahrul Yasin Limpo yang menjabat menteri pertanian terjerat kasus korupsi yang saat ini masih dilakukan penyidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
KPK mengusut dugaan kasus korupsi Syahrul Yasin Limpo terkait dugaan korupsi pemaksaan dalam jabatan.
Sebelum Syahrul, menteri dari NasDem lainnya yang tersangkut kasus korupsi adalah Johnny G Plate. Dia adalah Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) sekaligus Sekjen Partai NasDem.
Lalu, bagaimana nasib Menteri LHK Siti Nurbaya di Kabinet Indonesia Maju ?
Pengamat Politik dari Universitas Al-Azhar, Ujang Komarudin menyebut penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK diduga sebagai upaya penggembosan pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar.
Ujang menilai, penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK ini diduga sebagai upaya penggembosan pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar.
Penggembosan Anies-Muhaimin dilakukan dengan menyerang kader NasDem yang menjadi menteri.
Total ada dua Menteri di Kabinet Indonesia Maju dari Partai NasDem yang sudah terseret kasus hukum.
Sebelum Mentan Syahrul Yasin Limpo, ada nama eks Menkominfo Johnny G Plate yang juga ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus korupsi BTS 4G.
Tidak hanya kader NasDem, setelah penunjukkan bakal calon wakil presiden (Bacawapres) dari Koalisi Perubahan yakni Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin juga pernah diperiksa KPK.
“Dalam konteks kita di Indonesia itu tidak terlepas dari adanya interpretasi politik untuk menjegal atau menggembosi dari pasangan Anies Muhaimin. Dan ini kan dari rezim ke rezim dari pemerintahan ke pemerintahan sama,” kata Ujang, Minggu (1/10/2023).
Ujang menilai hukum masih menjadi instrumen yang ampuh menjadi alat politik untuk menghajar lawan politik. Menurutnya, cara tersebut dinilai lumrah di negara dunia ketiga seperti Indonesia.
“Hukum masih menjadi instrumen alat politik bagi kelompok tertentu. Siapa yang menjadi lawan akan dikerjain, siapa yang menjadi kawan ya akan aman,” katanya.
Namun begitu, Ujang memahami bisa saja penegak hukum memang memiliki bukti untuk mengusut kasus hukum terhadap kasus tersebut.
Namun, publik pastinya mempertanyakan alasan penegak hukum tak berani membidik menteri yang berasal dari parpol pendukung pemerintah.
“Coba seharusnya petinggi petinggi lain, menteri menteri lain yang dari partai pemerintah kan banyak kasus juga tuh. Kenapa didiamkan, kenapa nggak diusut gitu loh. Itu kan menjadi persoalan,” katanya.
“Jadi banyak kan menteri menteri yang bermasalah saat ini yang didiamkan. Karena bagian dari pemerintahan. Itu yang dianggap oleh rakyat oleh kita akademisi itu ada kekhawatiran hukum diintervensi oleh kekuatan politik dan itu terjadi dari setiap pemerintahan,” sambungnya
Oleh karena itu, Ujang pun mengharapkan bahwa penegakan hukum harus berjalan tanpa intervensi dari persoalan politik. Sebab saat ini, penegakan hukum dengan politik sudah berbeda tipis.
“Saya melihat inilah akrobat politik yang dimainkan atau mendorong hukum sebagai alat untuk menggembosi, menjegal, pihak pihak lawan politik. Sebenernya ini masalah umum yang terjadi setiap pemerintahan pada setiap rezim,” katanya.
“Cuma saat ini terlalu terbuka, terlalu kelihatan proses hukumnya mengarah ke intervensi politik itu. Jadi mau dibantah apapun mau diberikan argumen apapun rakyat sudah cerdas bisa menilai terkait persoalan ini,” lanjutnya.
Ujang pun mendorong KPK untuk menegakan hukum secara berkeadilan. Artinya, siapapun harus diadili tanpa pandang bulu dan proporsional.
Jika tidak, masyarakat tidak lagi percaya dengan penegakan hukum di Indonesia.
“Itu yang harus kita jaga dari KPK. Kalau tebang pilih, menghajar lawan, mengamankan kawan nanti masyarakat tidak percaya. Kalau masyarakat sudah tidak percaya ya akan terjadi hukum rimba. Ini yang bahaya,” tuturnya.