Keterlibatan politisi Partai Gerindra Sudewo dan istrinya Atik Kusdarwati tengah didalami oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus dugaan suap pembangunan dan pemeliharaan jalur rel kereta di Ditjen Perkeretaapian Kemenhub.
Politisi Partai Gerindra dan sekaligus anggota DPR RI Sudewo diperiksa oleh KPK bersama istrinya Atik Kusdarwati pada Kamis (3/8).
Pasangan suami istri itu diperiksa sebagai saksi dengan tersangka Pejabat Pembuat Komitmen (PKK) Balai Teknik Perkeretaapian Jawa Bagian Tengan Bernard Hasibuan dan kawan-kawan.
“Kedua saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan dugaan adanya pemantauan proyek-proyek di Kemenhub,” ujar Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Senin (7/8).
Selain itu, KPK juga memeriksa dua wiraswasta yaitu Roni Gunawan dan Mustono pada Jumat (4/8). Kedua saksi ini hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan dugaan adanya aliran uang ke beberapa pejabat di Kemenhub.
Tak hanya itu, KPK juga mendalami pemberian uang dari pihak swasta kepada tersangka Bernard. KPK mendalami materi itu lewat wiraswasta Dion Renata Sugiarto.
Selain itu, KPK juga memeriksa notaris Wieke Dewi Suryandari.
“Saksi hadir dan pemeriksaan dilakukan di Polrestabes Semarang. Didalami pengetahuannya antara lain terkait dugaan adanya pembelian aset menggunakan uang suap oleh Tersangka BH (Bernard),” ujarnya.
Dalam agenda pemeriksaan untuk mendalami peran Bernard, KPK juga memanggil wiraswasta Widodo. Namun, KPK menyebut bahwa Widodo mangkir dari pemeriksaan.
“Saksi tidak hadir dan dijadwal ulang,” ujar Ali.
Dalam kasus ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan sepuluh tersangka terkait kasus dugaan suap di lingkungan Ditjen Perkeretaapian (DJKA) Kemenhub.
Kesepuluh orang yang ditetapkan KPK sebagai tersangka, yakni Direktur Prasarana Perkeretaapian Harno Trimadi; PPK Balai Teknik Perkeretaapian Jawa Bagian Tengah (BTP Jabagteng) Bernard Hasibuan, Kepala BTP Jabagteng Putu Sumarjaya, PPK BPKA Sulsel Achmad Affandi, PPK Perawatan Prasarana Perkeretaapian Fadliansyah, dan PPK BTP Jabagbar Syntho Pirjani Hutabarat.
Kemudian, Direktur PT Istana Putra Agung Dion Renato Sugiarto, Direktur PT Dwifarita Fajarkharisma Muchamad Hikmat, serta Yoseph Ibrahim selaku Direktur PT KA Manajemen Properti sampai dengan Februari 2023, dan Parjono selaku VP PT KA Manajemen Properti.
Harno Trimadi, Bernard Hasibuan, Putu Sumarjaya, Achmad Affandi, Fadliansyah, dan Synto Pirjani diduga menerima suap dari Dion Renato, Muchamad Hikmat, Yoseph Ibrahim, dan Parjono terkait sejumlah proyek pembangunan jalur kereta api.
Beberapa di antaranya, proyek pembangunan jalur kereta api ganda Solo Balapan–Kadipiro–Kalioso; proyek pembangunan jalur kereta api trans Sulawesi di Makassar Sulawesi Selatan; serta empat proyek konstruksi jalur kereta api dan dua proyek supervisi di Lampegan Cianjur Jawa Barat.
Mereka juga menerima suap terkait proyek perbaikan perlintasan sebidang Jawa-Sumatera. Dalam sejumlah proyek itu, keenam pejabat di Ditjen Perkeretaapian Kemenhub menerima suap dari para pihak swasta selaku pelaksana proyek dimaksud, yaitu sekitar 5 -10 persen dari nilai proyek.
Dalam pembangunan dan pemeliharaan proyek tersebut diduga telah terjadi pengaturan pemenang pelaksana proyek oleh pihak-pihak tertentu melalui rekayasa sejak mulai proses administrasi sampai penentuan pemenang tender.
Secara total, para pejabat Ditjen Perkeretaapian Kemenhub itu menerima suap sekitar Rp 14,5 miliar dari para pihak swasta. Namun, KPK memastikan bakal terus mengembangkan kasus ini dan menelusuri adanya suap lainnya.
Atas tindak pidana yang diduga dilakukannya, Harno Trimadi, Bernard Hasibuan, Putu Sumarjaya, Achmad Affandi, Fadliansyah, dan Synto Pirjani selaku tersangka penerima suap dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara Dion Renato, Muchamad Hikmat, Yoseph Ibrahim, dan Parjono yang ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.