Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk meminta maaf atas penetapan tersangka Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Koorsmin Kabasarnas Letnan Kolonel Adm Afri Budi Cahyanto, adalah langkah keliru.
KPK mendapat desakan dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk terus melanjutkan proses hukum dan menyidangkan Henri dan Afri dalam peradilan umum.
Hal itu disampaikan koalisi yang mewadahi Imparsial, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, WALHI, YLBHI, Amnesty International Indonesia, Public Virtue, Forum de Facto, KontraS, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, HRWG, ICJR, LBH Jakarta, LBH Malang, Setara Institute, AJI Jakarta, dan AlDP.
“Dapat merusak sistem penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebagai kejahatan yang tergolong tindak pidana khusus atau korupsi, KPK seharusnya menggunakan UU KPK sebagai pijakan dan landasan hukum dalam memproses militer aktif yang terlibat dalam kejahatan korupsi tersebut,” ujar Ketua PBHI Julius Ibrani, Sabtu (29/7/2023).
Koalisi memandang KPK dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar asas lex specialist derogat lex generalis atau UU yang khusus mengenyampingkan UU yang umum. Dengan demikian KPK harusnya mengusut kasus ini hingga tuntas dan tidak perlu meminta maaf.
“Permintaan maaf dan penyerahan perkara kedua prajurit tersebut kepada Puspom TNI hanya akan menghalangi pengungkapan kasus tersebut secara transparan dan akuntabel. Lebih dari itu, permintaan maaf dan penyerahan proses hukum keduanya tersebut bisa menjadi jalan impunitas bagi keduanya,” ujarnya.
Dia menerangkan sistem hukum angkatan bersenjata sebagaimana yang diatur dalam UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer merupakan sistem yang eksklusif bagi prajurit yang terlibat dalam tindak kejahatan. Hal itu sering kali menjadi sarana impunitas bagi mereka yang melakukan tindak pidana.
Padahal dalam pasal 65 ayat (2) UU TNI mengatakan “Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.”
“Terkait penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK terhadap Kabasarnas RI dan Koorsmin Kabasarnas ini tentunya hal tersebut sudah benar karena dilakukan sebagai tindak lanjut dalam suatu operasi tangkap tangan bersama dengan masyarakat sipil lainnya sesuai ketentuan hukum yang berlaku, yaitu mentersangkakan pemberi suap dan penerima suap,” ujarnya.
Julius mengatakan akan menjadi aneh, jika KPK justru tidak mentersangkakan Kabasarnas dan anak buahnya padahal dalam perkara ini mereka berdua diduga sebagai penerima suap.
“Mereka yang sudah menjadi tersangka tidak bisa mendalilkan bahwa penetapan tersangka terhadap mereka hanya bisa dilakukan oleh penyidik di institusi TNI karena dugaan korupsi ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan institusi TNI dan kepentingan militer,” ungkapnya.
Dia menilai skandal korupsi yang terjadi di tubuh Basarnas yang dilakukan oleh prajurit TNI aktif ini menunjukkan masih lemahnya akuntabilitas dan transparansi di lembaga-lembaga yang terkait dengan militer.
Kasus ini harus dijadikan momentum untuk mengevaluasi proses pengadaan barang atau jasa lainnya dalam institusi militer, baik secara internal maupun lembaga eksternal lainnya, agar transparan dan akuntabel sehingga tidak menimbulkan kerugian keuangan negara.
Dia menilai korupsi di tubuh TNI juga diakibatkan oleh kegagalan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap angkatan bersenjata yang jelas berada di bawahnya. Hal itu berdasarkan UU TNI yang dikuatkan Putusan MK No. 9/PUU-IX/2011.
Selain Menhan, kegagalan pengawasan TNI juga patut dialamatkan kepada Menko Polhukam Mahfud MD yang gagal menjalankan fungsi pengawasan terhadap unsur organisasi yang berada di bawahnya. Atas dasar hal tersebut, koalisi pun memberikan sejumlah desakan.
Pertama, KPK mengusut tuntas secara transparan dan akuntabel dugaan korupsi yang melibatkan Kabasarnas dan anak buahnya tersebut. Pengungkapan ini harus menjadi pintu masuk mengungkap kasus dugaan korupsi yang melibatkan prajurit TNI lainnya, baik di lingkungan internal maupun eksternal.
“KPK harus memimpin proses hukum terhadap siapa saja yang terlibat dugaan korupsi di Basarnas ini. KPK sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi tidak boleh takut untuk memproses hukum perwira TNI yang terlibat korupsi. Jangan sampai UU peradilan militer menjadi penghalang untuk membongkar skandal pencurian uang negara tersebut secara terbuka dan tuntas,” ujar Julius.
Kedua, pemerintah dan DPR harus segera merevisi UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer karena selama ini sering digunakan sebagai sarana impunitas dan alibi untuk tidak mengadili prajurit TNI.
Apalagi agenda revisi UU Peradilan Militer ini menjadi salah satu agenda yang dijanjikan oleh Presiden Jokowi pada Nawacita periode pertama kekuasaannya.
Ketiga, pemerintah wajib mengevaluasi keberadaan prajurit TNI aktif di berbagai instansi sipil, terutama yang jelas bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU. Karena hanya akan menimbulkan polemik hukum ketika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh prajurit TNI aktif.
“Seperti dugaan korupsi misalnya yang tidak bisa diusut secara cepat dan tuntas karena eksklusivisme hukum yang berlaku bagi prajurit TNI yang melakukan tindak pidana,” pungkas Julius.