KUHP baru kini mengundang polemik usai disahkan pada tanggal 6 Desember 2022 lalu. Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Fadhil Alfathan menilai bahwa, pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi KUHP memiliki kemungkinan untuk dimanfaatkan oleh kaum elit tertentu menyelipkan agenda kekuasaan mereka.
“Menurut kami, semangat ini justru dimanfaatkan oleh elit-elit tertentu untuk menyelipkan agenda kekuasaan mereka,” ujar Fadhil dikutip dari Tempo pada Kamis, 8 Desember 2022.
Fadhil mengatakan, akibat kepentingan kaum elit tertentu, ruang kebebasan sipil semakin menyempit, pasal-pasal kolonial dihidupkan kembali, yang mana ironisnya dibungkus dengan semangat “dekolonisasi hukum pidana”.
Menurut Fadhil instrumen hukum pidana umum digunakan sebagai alat represi bagi pendapat atau ekspresi yang diutarakan sebagai kritik terhadap suatu kebijakan.
“Kondisi inilah yang dalam praktiknya disebut sebagai ‘kriminalisasi’,” ujar Fadhil.
Maka menurut Fadhil, kriminalisasi bukan hanya terjadi karena corak otoriter kekuasaan, tetapi juga karena masih bercokolnya instrumen hukum pidana yang “karet”.
Oleh karena itu, dengan berlakunya ketentuan hukum pidana baru dalam RKUHP, maka sangat besar kemungkinan praktik-praktik kriminalisasi semakin bertambah.
“Tentu saja, yang diuntungkan dalam praktik ini adalah mereka yang memiliki agenda licik untuk mempertahankan kekuasaan, namun khawatir dengan kemarahan rakyat,” ujarnya.
Fadhil menambahkan, sejak 1960-an, banyak kalangan akademisi hukum pidana yang menyebut RKUHP sebagai ikhtiar “dekolonisasi hukum pidana”, dan semangat tersebut masih bertahan hingga hari pengesahannya, meskipun ada kemungkinan dimanfaatkan oleh kaum elit tertentu.
KUHP Baru Indonesia adalah Kemunduran
Anggota Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (APHR) Eva Sundari menyatakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP baru mencakup pasal-pasal bermasalah. Dia menilai pengesahan itu sebagai langkah mundur yang mencemaskan bagi Indonesia.
“Kami telah membuat langkah besar menuju demokrasi sejak kejatuhan kediktatoran Suharto, dan KUHP yang baru mengancam akan membalikkan kemajuan itu,” ujar Eva, Rabu, 7 Desember 2022.
KUHP disahkan jadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR yang digelar kemarin, Selasa, 6 Desember 2022. Dalam draf akhir RKUHP versi 30 November 2022, undang-undang itu terdiri atas 624 pasal dan 37 bab. KUHP baru bakal resmi berlaku 3 tahun mendatang.
Eva menyebut pasal yang bermasalah itu dapat secara berlebihan membatasi hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, kebebasan berbicara dan berekspresi, serta hak atas privasi dan otonomi seksual.
Salah satu bunyi pasal juga melarang penyebaran ajaran komunis dan Marxis-Leninis serta “ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila”. Pasal-pasal lain melarang penghinaan terhadap Presiden, Wakil Presiden, pemerintah, dan lembaga negara.
APHR menganggap, definisi dalam pasal-pasal tersebut terlalu luas, membuka pintu bagi mereka untuk digunakan melawan kritik terhadap mereka yang berkuasa. Pasal lain ditinjau dapat mengkriminalisasi protes atau demonstrasi publik tanpa izin.
“Dengan menyusun pasal-pasal bermasalah ini dan membiarkannya disahkan, pemerintahan Joko Widodo telah gagal memenuhi komitmen terhadap demokrasi dan hak asasi manusia yang sering diklaim didukungnya,” kata Eva.
Sementara, Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto mengklaim KUHP yang baru saja disahkan adalah langkah progresif. Dia menyoroti secara khusus urusan privat, kini tidak dapat diintervensi negara.
“Wartawan CNN berkomentar bahwa Indonesia telah berubah menjadi negara konservatif, tetapi jika Anda membandingkan (hukum pidana) yang baru dan yang lama, Indonesia telah membuat kemajuan yang signifikan,” ujar Andi di konferensi The Council for Security Cooperation in the Asia Pacific di Sekretariat ASEAN di Jakarta, Kamis, 8 Desember 2022.
Andi mencontohkan, dalam pasal perzinahan, misalnya, dulu negara dapat ikut campur dalam pelanggaran pidana. Sekarang siapapun bisa membawa pasangan yang tidak menikah untuk tinggal bersama asal tidak ada aduan dari keluarga.
Sebelumnya Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia Sung Y. Kim memberikan perhatian atas disahkannya KUHP baru, khususnya mengenai ranah privat akan berdampak pada iklim investasi di Indonesia. Sejumlah media asing juga menyoroti masalah itu.
Kim mengkhawatirkan KUHP itu dapat berdampak pada pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental di Indonesia. Dia menyebut, kebijakan itu mungkin dapat berpengaruh di sektor bisnis karena mereka akan mempertimbangakan hukum yang dapat melindungi kebebasan dan nilai-nilai penting lain.
“Saya pikir, itu akan menjadi pertimbangan lebih rumit, baik bagi bisnis AS atau negara lain. Akan ada faktor yang menentukan dari pembuatan keputusan mereka sebelum memutuskan investasi di Indonesia,” kata Kim dalam jumpa pers di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Rabu, 7 Desember 2022.
Dalam diskusi di Sekretariat ASEAN, Andi mengatakan KUHP baru merupakan upaya Indonesia untuk benar-benar memiliki hukum pidana nasional, yang tidak diwariskan kolonial.
Dewan Pers: UU KUHP Baru Dapat Pidanakan Wartawan dan perusahaan Pers
Dewan Pers menyatakan kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi kini menghadapi upaya pembungkaman setelah UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau UU KUHP baru disahkan pemerintah dan DPR. Lantaran, UU KUHP dapat menjerat wartawan dan perusahaan pers sebagai pelaku tindak pidana ketika menjalankan tugas jurnalistik.
“Tidak hanya mengancam dan mencederai kemerdekaan pers, namun juga berbahaya bagi demokrasi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta pemberantasan korupsi,” kata Arif Zulkifli, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Pers, dalam keterangan tertulis, Kamis, 8 Desember 2022.
Pada Selasa 6 Desember 2022, DPR resmi mengesahkan UU KUHP yang menggantikan KUHP peninggalan kolonial Belanda. UU akan berlaku tiga tahun ke depan, setelah masa sosialisasi.
Dewan Pers kemudian mencatat pasal-pasal UU KUHP yang berpotensi mengkriminalisasi wartawan dan mengancam kemerdekaan pers, kemerdekaan berpendapat, dan berekspresi. Di antaranya sebagai berikut:
-
Pasal 188 yang mengatur tentang tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme
-
Pasal 218, Pasal 219, dan Pasal 220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden
-
Pasal 240 dan Pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap Pemerintah
-
Pasal 263 yang mengatur tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong
-
Pasal 264 yang mengatur tindak pidana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap
-
Pasal 280 yang mengatur tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan
-
Pasal 300, Pasal 301, dan Pasal 302 yang memuat tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan
-
Pasal 436 yang mengatur tindak pidana penghinaan ringan
-
Pasal 433 mengatur tindak pidana pencemaran
-
Pasal 439 mengatur tindak pidana pencemaran orang mati
-
Pasal 594 dan Pasal 595 mengatur tindak pidana penerbitan dan pencetakan
Dewan Pers menyayangkan keputusan soal UU KUHP diambil dengan mengabaikan minimnya partisipasi dan masukan masyarakat, termasuk komunitas pers. Mengingat masih terdapat pasal-pasal krusial yang menjadi ancaman bagi pers dan wartawan.
Dalam demokrasi, kata Arif, kemerdekaan pers harus dijaga, salah satunya dengan memastikan tidak adanya kriminalisasi terhadap wartawan. Perlindungan itu dibutuhkan agar wartawan dapat bebas menjalankan tugasnya dalam mengawasi, melakukan kritik, dan koreksi.
“Serta memberikan saran-saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan,” kata dia.
Dewan Pers sebagai lembaga independen sebelumnya telah menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM) RKUHP terhadap pasal-pasal krusial yang menjadi ancaman terhadap pers dan wartawan. Dewan Pers juga menyarankan reformulasi 11 cluster dan 17 pasal dalam RKUHP yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers, sebagai upaya mencegah kriminalisasi.
Masukan Dewan Pers tak direspons Pemerintah
Namun Arif menyebut masukan yang telah diserahkan ke pemerintah dan DPR tidak memperoleh feedback. Padahal, Dewan Pers juga menyampaikan saran agar dilakukan simulasi kasus atas norma yang akan dirumuskan.
Arif juga menyebut ketentuan-ketentuan pidana pers dalam KUHP telah mencederai regulasi yang sudah diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Padahal, kata dia, unsur
penting berdemokrasi adalah dengan adanya kemerdekaan berekspresi, kemerdekaan berpendapat, serta kemerdekaan pers.
“Dalam kehidupan yang demokratis, kemerdekaan menyampaikan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia hakiki,” ujarnya.
Sebelumnya, RKUHP disahkan menjadi undang-undang oleh DPR RI dalam rapat paripurna pada Selasa, 6 Desember 2022. Pada hari yang sama Aliansi Reformasi KUHP melakukan aksi penolakan terhadap pengesahan tersebut di depan gedung DPR dengan mendirikan tenda dan menyuarakan penolakan. Kendati demikian, meskipun mendapat penolakan dari kelompok masyarakat sipil dan kritikan dari dunia internasional, pengesahan tersebut tetap berlangsung.
Sumber: Tempo