Membendung Politisasi Agama pada Pilpres dan Pileg 2024

- Advertisement -
Politisasi agama dalam pemilihan presiden dan wakil presiden maupun pemilihan legislatif, kadang muncul sebagai sebuah kekuatan yang tak terbendung. Hal ini juga disebut sebagai politik identitas.

Politisasi agama adalah penggunaan agama atau simbol-simbol agama sebagai alat untuk mendapatkan tujuan-tujuan politik atau untuk memobilisasi massa dalam memenangkan calon tertentu dalam pemilihan jabatan publik.

Penggunaan agama dalam politik disebut politisasi agama, jika pelibatan agama dalam politik dilakukan:

  1. Berdasarkan dalil-dalil keagamaan atau argumentasi yang bersifat diperselisihkan (khilafiyah)
  2. Penggunaan agama disertai kampanye negatif, kebencian dan/atau permusuhan terhadap lawan politik.
  3. Berorientasi hanya kepentingan kelompok, dan mengabaikan kepentingan nasional.

Dengan demikian, jika penggunaan ajaran agama itu merupakan ajaran agama yang absoulut (qath’i), maka pelibatan agama dalam politik tidak bisa disebut politisasi agama.

Tentu saja dengan syarat, jika hal ini disampaikan dengan santun dan tidak disertasi dengan kampanye negatif atau ujaran kebencian terhadap lawan politik dan tetap berorientasi kepada kepentingan umum (nasional).

Namun, jika penggunaan agama ini disertai dengan kebenciaan terhadap calon lainnya yang berbeda orientasi politik atau agama mereka, maka hal ini merupakan politisasi agama.

Politisasi agama dalam beberapa pemilu terakhir ini semakin kuat, sebagai cara cepat untuk mendapatkan dukungan lebih besar dari publik, baik karena dalam kompetisi politik maupun alasan legitimasi faham keagamaan suatu kelompok.

Politisasi agama juga terjadi di negara-negara Barat sekuler yang dalam banyak kasus terintegrasi dengan politik identitas dan populisme, dan bahkan Islamofobia.

Di Amerika Serikat, agama juga dijadikan sebagai alat legitimasi dan bahkan politisasi dalam pemilu, terutama untuk menarik dukungan dari kelompok-kelompok konservatif dan fundamentaslis.

Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat pada 2016 lalu tidak terlepas dari politisasi agama dalam kampanyenya, terutama politik anti-Islam (Islamofobia) dan anti-imigran.

Demikian pula, penambahan suara atau kemenangan pendukung partai-partai kanan di Eropa Barat dalam pemilihan umum juga tidak terlepas dari politisasi agama.

Partai-partai sayap kanan itu antara lain: National Front Party di Perancis dengan tokohnya Marine Le Pen, The Party for Freedom di Belanda dengan tokohnya Geert Wilders, dan  Danish People’s Party dengan tokohnya Pia Kjarsgaard.

Austria adalah negara yang saat ini pemerintahannya dikuasai oleh partai sayap kanan, yakni Austrian People’s Party dengan tokohnya Sebastian Kurz.

Penggunaan isu-isu agama (politisasi agama) dalam pemilihan di Indonesia juga terjadi di Indonesia, terutama pada masa kampanye Pemilihan Presiden (Piplres) 2019 dan juga pada Pilkada DKI 2016.

Untuk menghadapi pemilu 2024 mendatang berbagai ungkapan tokoh politik bermunculan dan bisa sisebut sebagai politisasi agama.

Bahkan muncul berbagai pernyataan bahwa partai-partai yang tergabung dalam kelompoknya adalah Partai Allah (hizb Allâh) dan disebut juga Poros Mekah, sedangkan partai-partai yang tergabung dalam kelompok lain adalah Partai Setan (hizb al-syaithân) dan disebut juga Poros Beijing.

Untuk melakukan pencegahan politisasi agama diperlukan upaya-upaya pelurusan pengertian dan batasan pelibatan agama dalam politik serta pelurusan pemahaman keagamaan yang dipergunakan untuk politisasi agama.

Dalam hal ini, ungkapan bahwa agama harus lepas sama sekali dengan politik tentu saja kurang tepat, karena Indonesia adalah negara Pancasila, yang sangat menghormati kedudukan agama.  Agama bahkan sering dilibatkan dalam legitimasi politik untuk menjalankan fungsi-fungsi tersebut di atas.

Namun, pelibatan agama dalam politik ini perlu diekspresikan dengan santun dan tidak mencampuradukkan antara kepentingan politik praktis dan agama, sehingga pelibatan agama ini tidak menimbulkan perpecahan, kebencian dan konflik SARA.

Di samping itu, diperlukan pula kesadaran semua pihak, terutama tokoh politik, tokoh organisasi keagamaan dan tokoh agama, akan pentingnya selalu menjaga persatuan bangsa, dan bahwa politisasi agama akan merendahkan posisi agama hanya sebagai alat memperoleh kekuasaan.

Dalam konteks ini, ajaran Islam sebenarnya sudah jelas menyatakan keharusan berbuat adil termasuk terhadap kelompok yang tidak disukai (Q.S. al-Maidah: 8), larangan komersialisasi atau manipulasi ayat al-Quran (Q.S. al-Baqarah: 41), larangan fitnah dan adu domba (Q.S. al-Qalam: 10-11 dan Q.S. al-Lumazah: 1), dan larangan mengolok-olok atau membenci kelompok lain (Q.S. al-Hujurat: 11 dan al-An’am: 108).

Sumber: Masykuri Abdillah

Trending Topic

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Hot News

Game

PENTING UNTUK DIBACA