Iklan
Iklan

Yusril Ihza Mahendra Sebut PN Jakarta Pusat Membuat Keputusan Keliru Terkait Penundaan Pemilu

- Advertisement -
Pakar Hukum Tata Negara, Prof Yusril Ihza Mahendra, memberi reaksi terkait putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menunda Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Yusril Ihza Mahendra menilai majelis hakim telah melakukan kekeliruan dengan memutuskan penundaan pemilu.

Keputusan PN Jakarta Pusat tersebut menyusul keputusan mereka atas gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) kepada Komisi Pemilihan Umum.

Yusril mengatakan sejatinya gugatan Partai Prima adalah gugatan perdata, yakni gugatan perbuatan melawan hukum biasa, bukan perbuatan melawan hukum oleh penguasa.

“Bukan pula gugatan yang berkaitan dengan hukum publik di bidang ketatanegaraan atau administrasi negara,” jelasnya.

Dia mengatakan dalam gugatan perdata biasa, sengketa yang terjadi adalah antara penggugat Partai Prima dan tergugat (KPU), tidak menyangkut pihak lain.

Maka jika majelis berpendapat gugatan Partai Prima beralasan hukum, maka KPU harus dihukum untuk melakukan verifikasi ulang tanpa harus mengganggu tahapan Pemilu.

“Namun, pada hemat saya majelis harusnya menolak gugatan Partai Prima, atau menyatakan NO (niet ontvankelijke verklaard) atau gugatan tidak dapat diterima karena pengadilan negeri tidak berwenang mengadili perkara tersebut,” katanya.

Pendapat bahwa PN Jakarta Pusat keliru dalam putusannya menunda pemilu juga diungkapkan Cecep Darmawan, guru besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Cecep mengatakan, ada dua kekeliruan dalam gugatan perdata yang dilayangkan Partai Prima terhadap KPU.

Pertama, pengadilan negeri tidak memiliki kewenangan menunda pemilu. Kedua, putusan yang dikeluarkan pengadilan menunda pemilu pun keliru.

“Karena yang diperkarakan putusan KPU itu, harusnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau ke Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) yang punya kewenangan,” ujar Cecep, saat dihubungi melalui telepon, Kamis (2/3).

Ia juga berpendapat, perkara ini hanya urusan KPU dengan Partai Prima, tidak ada sangkut pautnya dengan lembaga lain.

“Jadi, keliru pengadilan itu. Putusannya juga keliru, kalau ini perdata tidak boleh melibatkan pihak lain, ini kan urusan KPU dengan partai itu. Ini jadi dua hal yang keliru,” katanya.

Cecep mendukung langkah KPU yang langsung menyatakan banding atas putusan Jakarta Pusat tersebut.

“Pasti harus banding dan Pengadilan Tinggi (PT) harus bijak melihat persoalan ini, PT harus menolak putusan dari pengadilan negeri,” ucapnya.

Pengamat politik UIN Jakarta Adi Prayitno mengatakan, putusan penundaan pemilu menjadi kabar yang benar-benar buruk. “Putusan PN aneh dan merugikan rakyat. KPU tak perlu menjalankan putusan ini,” kata Adi.

Dalam UU Pemilu disebutkan bahwa sengketa terkait tahapan pemilu, partai politik yang merasa dirugikan, mestinya diselesaikan di Bawaslu atau PTUN. Tak pernah dikenal sengketa dalam tahapan pemilu melalui PN.

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari juga mengungkapkan pendapat senada.

Perintah menunda pemilu, ujarnya, di luar kewenangan PN. “Bagi saya ini tindakan dan langkah-langkah yang menentang konstitusi,” kata Feri Amsari. “Tidak diperkenankan Pengadilan Negeri memutuskan untuk menunda Pemilu, karena itu bukan yurisdiksi dan kewenangannya. Tidak dimungkinkan untuk itu,” lanjutnya.

Setali tiga uang, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) juga berpendapat putusan penundaan pemilu ini merupakan pelanggaran terhadap amanat konstitusi. Anggota Dewan Penasihat Perludem, Titi Anggraini, bahkan menyebut, isi putusan PN ini aneh, janggal, dan mencurigakan.

“PN yang memerintahkan penundaan pemilu sampai 2025 merupakan pelanggaran terbuka terhadap amanat Konstitusi,” ujarnya.

Bantah Menunda

Humas PN Jakarta Pusat, Zulkifli Atjo, membantah bahwa PN Jakarta Pusat telah memerintahkan penundaan pemilu. Ia mengatakan, tak ada bahasa penundaan pemilu dalam putusan majelis hakim terkait gugatan Partai Prima kepada KPU.

PN Jakarta Pusat, ujar Zulkifli, hanya memerintahkan pihak tergugat, yakni KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024.

“Bunyi letterlijk-nya itu menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilihan umum 2024 sejak putusan diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan dan 7 hari,” kata Zulkifli kepada awak media, kemarin.

 

Trending Topic

Subscribe
Notify of

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Iklan

Iklan

Hot News

Game

PENTING UNTUK DIBACA