Iklan
Iklan

Kebebasan Pers Dikhawatirkan Bakal Terancam Jika Prabowo Menang Satu Putaran

- Advertisement -

Kebebasan pers dikhawatirkan terancam jika Prabowo Subianto menang pemilu dalam satu putaran dan menjadi presiden. Hal itu disampaikan oleh peneliti media dan dosen jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Ignatius Haryanto.

Terancamnya kebebasan pers menurut Ignatius Haryanto, berdasarkan rekam jejak Prabowo di masa lalu yang berulang kali menunjukkan watak antikritik saat berurusan dengan pers.

Dilansir BBC News Indonesia, Rabu (14/2) malam, Ignatius mengatakan, Prabowo, kerap menolak wawancara dengan media tertentu, terutama yang pernah mengkritiknya, serta pernah menandai sejumlah media yang kritis padanya.

Ruang gerak pers bisa jadi akan lebih terbatas dan pembredelan media bisa saja terjadi kembali seperti di era Orde Baru, tambahnya.

“Bredel ada kemungkinan itu akan dilakukan, karena saya kira juga kekuasaan hegemonik yang sudah ada oleh pemerintahan sekarang ini kan tinggal ‘dilanjutkan’ dengan karakter yang lebih keras,” ujar Ignatius dikutip dari BBC News Indonesia.

Apalagi, Prabowo disebut datang dari era Orde Baru yang menyuburkan pembungkaman pers dan punya trah keluarga Cendana.

Karena, Prabowo adalah mantan suami Siti Hediati Hariyadi alias Titiek, putri kedua mantan presiden otoriter Soeharto.

“Saya kira rezim-rezim otoriter itu kan selalu melakukan cara-cara untuk membungkam. Jadi saya kira memang kita bisa agak khawatir dengan situasi ini,” ujar Ignatius.

Kekhawatiran yang sama juga disampaikan oleh Sasmito Madrim, ketua umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Menurut Sasmito, selama ini dialog antara komunitas pers dan Prabowo tidak berjalan baik, termasuk saat pemilu 2019 ketika Prabowo kerap merasa tidak nyaman dengan pemberitaan yang ada.

Sasmito juga menyoroti Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka, pasangannya di pemilu 2024, yang tidak hadir secara langsung di acara “Deklarasi Kemerdekaan Pers” yang diadakan Dewan Pers pada Sabtu (10/2).

Saat itu mereka hanya diwakili pengusaha Rosan Roeslani sebagai ketua Tim Kampanye Nasional-nya.

Bila Prabowo menjadi presiden, Sasmito mengatakan komunitas pers harus solid dan menjalankan fungsinya dengan baik sebagai “watchdog” atau “anjing penjaga” bagi publik.

“Tanpa soliditas dari teman-teman pers, rasanya akan sulit kita berharap pada pasangan Prabowo-Gibran,” ujar Sasmito.

“Saya lebih berharap ke teman-teman media sendiri daripada harus berharap ke Prabowo.”

Sasmito juga menilai publik harus mendukung pers untuk memastikan pemerintah tidak melakukan kontrol berlebih yang akan mengembalikan situasi ke era Orde Baru.

“Tidak ada cara lain, publik harus membangun kekuatan menjadi oposisi dan pers harus independen agar bisa melakukan fungsi kontrol terhadap pemerintah dan lembaga negara lain,” pungkasnya.

Sementara itu, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menolak untuk berspekulasi. Dia mengatakan, lebih baik semua pihak menghormati proses pemilu dan menunggu hasil penghitungan suara resmi yang akan diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Dia juga mengatakan, meski Prabowo dan Gibran tidak hadir secara langsung di acara “Deklarasi Kemerdekaan Pers”, Ninik mengatakan perwakilan tim pasangan ini tetap hadir dan menandatangani komitmen kemerdekaan pers.

“Bagaimana implementasinya? Itu yang nanti kita lihat lima tahun ke depan, siapa pun nanti pemenangnya,” ujar Ninik.

“Saya kira kita sama-sama nanti akan menagih. Kita tagih komitmen di dalam deklarasi yang sudah ditandatangani ketiga pasangan calon.”

Terkait kekhawatiran ini, juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Viva Yoga Mauladi, mengatakan kepada BBC News Indonesia bahwa tidak perlu ada yang mengkhawatirkan perihal kebebasan pers, kebebasan berekspresi, dan masalah-masalah HAM di bawah kepemimpinan Prabowo nantinya.

“Tidak usah terlalu curiga dengan Prabowo-Gibran. Tidak usah takut. Selama ini toh pers bebas dan bertanggung jawab, kan?” ujar Viva Yoga kepada BBC.

“Ada Undang-Undang Kebebasan Pers, Undang-Undang ITE. Prabowo-Gibran kan menjalankan Undang-Undang. Jangan takut kemudian nanti ada perubahan pemerintah menjadi otoriter, pemerintah menjadi restriktif.”

Mengenai kebebasan berekspresi, Viva Yoga berkata: “Kalian bebas demonstrasi asal bertanggung jawab dan Pak Prabowo-Gibran itu menjalankan amanat Undang-Undang.”

“Harus move on ini yang menang Prabowo. Jadi harus dibantu, ya,” pungkasnya.

Source: BBC News Indonesia

Trending Topic

Subscribe
Notify of

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Iklan

Iklan

Hot News

Game

PENTING UNTUK DIBACA