Awal Mei lalu, saat pasukan Amerika Serikat dan NATO mulai menarik pasukan terakhir mereka dari Afganistan, Taliban langsung menggencarkan serangan militer atas pasukan pemerintah setempat.
Namun, mereka juga melakukan suatu hal yang langka dilakukan selama berkonflik di Afghanistan: Taliban meluncurkan kampanye di media sosial secara komprehensif.
Satu jaringan akun di media sosial ini menyoroti kegagalan rezim di Kabul sekaligus memuji pencapaian Taliban.
Sejumlah cuitan saat itu menyebarkan kemenangan-kemenangan terkini Taliban – terkadang terlalu dini untuk disiarkan – sambil menyertakan beberapa tagar, seperti #kabulregimecrimes (yang dilampirkan ke cuitan-cuitan yang menuduh pemerintah Afghanistan melakukan kejahatan perang); #westandwithTaliban (upaya untuk melancarkan dukungan masyarakat akar rumput) dan (pertolongan dari Allah dan kemenangan sudah dekat).
Tagar-tagar pertama itu setidaknya jadi tren di Afghanistan.
Sebagai respons, Amrullah Saleh sebagai Wakil Presiden Afghanistan saat itu memperingatkan militer dan masyarakat untuk tidak terpengaruh oleh apa yang ia sebut sebagai “klaim-klaim palsu kemenangan Taliban di media sosial”.
Dia juga meminta masyarakat untuk tidak membagikan detail operasi militer pemerintah yang bisa membahayakan keamanan.
Perkembangan itu menunjukkan bahwa Taliban sudah berubah sikap dari penolakannya atas teknologi informasi dan media modern, kini sudah membangun elemen-elemen media sosial untuk memperkuat pesan mereka.
Bentuk tim khusus medsos
Saat Taliban pertama kali berkuasa di Afghanistan pada 1996, mereka melarang internet dan menyita atau menghancurkan perangkat televisi, kamera, dan video.
Namun pada 2005, laman resmi Emirat Islam Taliban, `Al-Emarah`, diluncurkan dan kini mempublikasi kontennya dalam lima bahasa – Inggris, Arab, Pastun, Dari, dan Urdu.
Konten berbentuk audio, video, dan tulisan di bawah pengawasan komisi kebudayaan Emirat Islam Afghanisan (IEA), yang dipimpin oleh juru bicara mereka, Zabihullah Mujahid.
Cuitan pertama Mujahid langsung diblokir Twitter. Namun pada akunnya yang baru, aktif sejak 2017, memiliki lebih dari 317.000 pengikut.
Di bawah pengawasan Mujahid ada satu tim relawan yang khusus mempromosikan idelogi Taliban secara daring. Kepala tim itu, yang juga direktur media sosial IEA, adalah Qari Saeed Khosty.
Kepada BBC, Khosty mengungkapkan bahwa timnya memiliki grup-grup tersendiri yang terfokus pada Twitter – yang mengupayakan tagar Taliban jadi tren – dan penyebarluasan pesan lewat WhatsApp dan Facebook.
“Musuh-musuh kami punya televisi, radio, dan akun-akun terverifikasi di media sosial, sedangkan kami tidak punya. Namun kami tetap berjuang lewat Twitter dan Facebook dan bisa mengalahkan mereka,” kata Khosty.
Tugasnya adalah, lanjut dia, membawa mereka yang sudah bergabung ke Taliban karena ideologinya “ke platform media sosial sehingga mereka bisa memperkuat pesan kami”.
Ada sekitar 8,6 juta pengguna internet di Afghanistan dan tiadanya jaringan dan layanan data yang terjangkau masih menjadi kendala utama.
Khosty mengatakan tim medsos IEA memberi insentif 1.000 Afghani (sekitar Rp164.000) per bulan untuk paket data kepada para anggota tim untuk “berjuang di medan perang online”.
Dia mengeklaim bahwa IEA “punya empat studio lengkap dengan perangkat multimedia yang digunakan untuk meningkatkan pencitraan lewat audio, video, dan digital”.
Hasilnya adalah video-video propaganda berkualitas tinggi yang menyanjung para petempur Taliban berikut peperangan mereka atas pasukan asing dan pemerintah, yang tersebar luas di akun YouTube mereka dan laman Al-Emarah.
Kelompok itu mempublikasikan konten secara gratis di Twitter dan YouTube, namun Facebook telah mencap Taliban sebagai “organisasi berbahaya” dan secara rutin menghapus akun dan laman yang dikaitkan dengan kelompok tersebut.
Facebook mengatakan akan terus melarang konten Taliban di platformnya.
Kepada BBC, Khosty mengaku bahwa kelompok ini sulit untuk menyebarkan publikasi mereka di Facebook, sehingga terfokus ke Twitter.
Sebenarnya Departemen Luar Negeri AS sudah memasukkan Jaringan Haqqani sebagai kelompok teroris internasional. Namun pemimpin mereka, Anas Haqqani, dan banyak anggotanya punya akun di Twitter dan masing-masing punya ribuan pengikut.
Tanpa bersedia diungkap identitasnya, seorang anggota tim medsosnya kepada BBC mengungkapkan bahwa mereka memutuskan untuk menggunakan Twitter dalam menyebarkan suatu artikel opini dari harian The New York Times yang ditulis oleh Sirajuddin Haqqani, pada Februari 2020.
Terkait artikel itu dibuatlah sejumlah akun aktif di Twitter.
“Sebagian besar warga Afghanistan tidak mengerti bahasa Inggris, namun pimpinan rezim Kabul secara aktif berkomunikasi dalam bahasa Inggris di Twitter – karena audiens mereka bukan warga Afghanistan melainkan masyarakat internasional,” ujarnya.
“Taliban ingin melawan propaganda mereka dan itulah sebabnya kami juga memfokuskan diri pada Twitter.”